BERBAGAI BENTUK MENGIKUTI KRISTUS


 DOKUMEN BERSAMA PARA PIMPINAN GENERAL KONGREGASI BRUDER

PANGGILAN HIDUP BAKTI BRUDER

Teks ini disusun bersama oleh Panitia yang anggotanya adalah para PEMIMPIN GENERAL KONGREGASI PARA BRUDER SEDUNIA, Roma 1991

Bolehkah Saya Memanggil Anda Bruder?
Bruder-bruder Religius Masa Kini
TEOLOGI PANGGILAN BRUDER RELIGIUS DALAM GEREJA KATOLIK

REKAM JEJAK BRUDER KARITAS DI INDONESIA



SEJARAH SINGKAT BRUDER KARITAS DI INDONESIA


I. MERINTIS JALAN (1929 – 1942)


Permulaan di Purworejo-Kedu

Pada tahun 1927 Misionaris Hati Kudus (MSC) mengambil alih suatu daerah misi di Jawa Tengah, meliputi karesidenan Banyumas, Pekalongan dan bagian barat dari karesidenan Kedu. Luasnya 14466 Km persegi atau hampir sedelapan luas Pulau Jawa.
Sebelumnya daerah misi itu dipegang oleh para Romo Yesuit, namun karena kekurangan tenaga, mereka tak mampu melayaninya dengan baik. Misalnya di segenap daerah itu belum terdapat stasi-stasi yang tetap. Umat di kota-kota yang terpenting hanya dikunjungi beberapa kali saja setahun oleh Pastor, entah dari Semarang, Yogyakarta atau dari Ceribon. Biara-biara pun belum ada.
Maka para Romo MSC menghadapi tugas yang luar biasa besarnya. Boleh dikatakan bahwa mereka harus membangun hampir segala-galanya dari permulaan, dan dapat dimengerti bahwa Pastor BJJ Visser yang memegang pimpinan misi MSC terus mulai mencari bantuan tarekat-tarekat Bruder dan Suster di negeri Belanda.
Untunglah ia segera berhasil, sebab waktu itu semangat misi di Belanda masih berkobar-kobar. Tahun 1928, emapat Suster Bunda Hati Kudus (PBHK) yang pertama sudah tiba di Purworejo dan pada awal 1929 menyusullah juga lima Suster lain lagi untuk membuka sebuah biara di Tegal. Selain itu pada pertengahan tahun 1928 enam Suster Ursulin (OSU) dari Jakarta membuka sebuah biara di Purwokerto.


Sementara itu Pastor Visser telah minta tenaga juga kepada Bruder Karitas (FC) dan di sanapun ia sukses. Tanggal 12 Oktober 1929 lima Bruder pertama tiba di Jakarta, yakni Br. Baudile sebagai Bruder Kepala, Br. Micheas, Br. Cresentius, Br. Gabinus dan Br.Maturus. setelah berkenalan dengan para Bruder St. Aloysius (CSA) dan Romo-romo Yesuit di Jakarta, maka tanggal 15 Oktober jam 6 pagi mereka berangkat naik kereta api menuju Jawa Tengah. Jam 4 sore mereka sampai di Kutoarjo. Di sana mereka dijemput dengan sebuah mobil dan tak lama kemudian mereka masuk kota Purworejo.
Mereka belum tahu situasi disekitarnya. Maka mereka sangat heran karena jarak Kutoarjo-Purworejo yang katanya 40 Km (entah dari mana mereka mendapat informasi) ternyata hanya 12 Km saja dan dapat ditempuh dalam waktu yang singkat. Mereka mengatakan bahwa jalan di Jawa Tengah sangat licin dan sopirnya sangat tangkas dan cepat.
Umat Katolik dan beberapa murid sekolah-sekolah misi telah siap menanti mereka dekat pastoran Gereja Paroki Purworejo. Penyambutan mereka agak meriah. Setelah perkenalan dan sambutan, berkumandanglah sebuah lagu lalu semuanya masuk gereja (Gereja yang dulu kecil, belum sebesar sekarang) sebagai ucapan syukur kepada Tuhan atas keselamatan perjalanan para bruder dan mohon berkat untuk pekerjaaan para bruder yang akan dipikulnya. Kemudian mereka diantar ke rumah mereka (yakni bagian muka Bruderan sekarang), dan di sana semuanya sudah diurus oleh para Suster untuk makan pesta. Dari arsip dan foto-foto tidak jelas apakah kedatangan mereka dihormati pula dengan hidangan nasi dan ayam goreng beserta sambal.
Pagi berikutnya, para guru bersama anak-anak sekolah HIS dan Schakel School dating ke Bruderan untuk menyanyikan “welkomslied” (lagu selamat dating). Kemudian Bruder-bruder menengok anak-anak di ruang kelas dan setelah itu skeolah diliburkan ekstra sehari.
Hari berikutnya, Bruder-bruder terus mulai mengajar di sekolah dan lama kelamaan mereka mengambil alih pengurusan sekolah. Tanggal 1 Nopember mereka membuka asrama untuk anak-anak tingkat SD. Untuk mempererat kontak dengan anak-anak didirikan perkumpulan sepak bola dan kepanduan (sekarang kepramukaan). Juga diadakan kursus bagi pegawai-pegawai rendahan untuk meningkatkan pengetahuan mereka.
Pada akhir tahun 1930 datanglah beberapa Bruder baru dari Eropa, sehingga perlu mendirikan beberapa kamar tambahan di rumah biara. Selanjutnya hampir setiap tahun barisan apra Bruder diperkuat dengan tenaga baru sehingga mereka sempat membuka dua biara baru, yaitu di Purwokerto (1931) dan Tegal (1934). Selain itu pekerjaan di Purwoerjo dapat diperluas dengan sebuah sekolah MULO (sekarang SLTP) beserta asrama. Untuk itu didirikan dua gedung baru.
Dalam waktu itu Mgr. Visser (Pastor Visser sudah diangkat menjadi Perfect Apostolik) bersama Br. Baudile mendirikan sebuah tarekat pribumi dan diberi nama Tarekat Bruder-bruder Sihing Widi (lihat riwayatnya di bawah ini). Tahun 1936 diadakan kelompok “Jonge Wacht” (Pengawal Muda untuk anak muda Katolik). Ini juga akhirnya dikembangkan menjadi kelompok kepanduan, ialah kelompok kepanduan yang kedua. Selain itu pada tahun itu dibangun gedung baru untuk Schakelschool, sedang asrama diberi ruang tidur baru.
Pada bulan Maret 1942, atas perintah pembesar Jepang yang menguasai daerah Nusantara waktu itu, semua sekolah ditutup. Kemudian semua bruder Belanda di internir (ditawan), itu terjadi pada tahun 1942-1943, dan gedung-gedung biara ditempati oleh Kempetai (tentara Jepang).

Tarekat Bruder-bruder Sihing Widi

Pada akhir tahun 1930, tatkala Bruder Gabriel (Asisten General) berkunjung ke biara di Purworejo, dua anak HIS mohon agar diterima sebagai calon Bruder Karitas. Bruder Asisten berjanji akan meneruskan permintaan mereka ke pengurus pusat Bruder Karitas di kota Gent – Belgia).
Namun ketika hal itu dibicarakan dengan Mgr. BJJ Visser, beliau mengusulkan car lain. Yakni untuk mencoba mendirikan sebuah tarekat baru, yang khusus untuk Bruder-bruder Indonesia. Maklum waktu itu Takhta Suci di Roma mendesak supaya mengadakan tarekat-tarekat pribumi. Maka setelah bermupakat dengan pimpinan Bruder Karitas, ia mengajukan surat permohonan untuk maksud pendirian tarekat pribumi itu kepada Takhta Suci.
Sementara itu, kedua pemuda tersebut tak sabar menanti balasan dari pengurus pusat Bruder Karitas di Gent. Mereka bermimpi tentang perjalanan nanti di sebuah kapal laut raksasa menuju Eropa, di mana mereka akan menjalankan novisiat di tengah-tengah segala keajaiban dunia barat. Harapan mereka agar begitu tamat HIS pada tanggal 1 Agustus 1931 segera boleh berangkat. Akhirnya masuklah surat dari Gent, tetapi isinya mengatakan: “Sabar dulu”. Tak sulit membayangkan kekecewaan mereka. Salah satu calon malah melepaskan cita-citanya dan pulang ke kampung halamannya.
Kemudian beberapa anak lain mencalonkan diri. Namun mereka sering tak tahan lama, entah karena tak mempunyai sifat-sifat yang dierlukan atau karena kurang faham akan hidup religius atau karena merasa tak ada kepastian tentang hari kemudian.
Pemerintahan Gereja di Roma memang bekerja dengan pelan-pelan karena butuh ketelitian, dan para calon dapat merasakan hal itu. Pada bulan Juli 1933, mereka baru mendapat berita dari Mgr. Visser, bahwa Roma telah meluluskan permohonannya untuk mendirikan tarekat. Tanggal 15 Agustus 1933, pada pesta St. Maria diangkat ke surga, tiga calon diterima untuk postulat. Kemudian pada tanggal 5 Januari 1934 mereka menerima jubah religius dari tangan Mgr. Visser sebagai Pimpinan Tarekat dan mendapat nama biarawan. Mereka adalah Br. Paskhalis, Br. Redemptus, Br. Alfonso Wiryotaruno. Novisiat bertempat di sebuah pavilyun Bruderan Karitas dan Br. Baudile, kepala misi Bruder Karitas, diangkat pula sebagai magister atau pimpinan novisiat itu.
Sebagai nama tarekat itu dipilih “Broeders van de Goddelijke Liefde”. Kemudian pada waktu perang, nama itu dibahasa Jawa-kan menjadi “Bruder-bruder Sihing Widi”. Adapun peraturan-peraturan mereka kira-kira sama deperti yang berlaku untuk Bruder Karitas, seperti pula tujuan tarekat yakni menyucikan diri dan mengabdi sesama dengan aneka macam karya cintakasih. Pakaian biara mereka berupa jubah kelabu muda, skapulir hitam, dan ikat pinggang dari kulit warna coklat dengan risarui besar di sebelah kiri. Mereka tidak memakai kaos kaki atau sepatu melainkan bersandal.
Pendidikan rohani para calon mengalami kesulitan. Buku-buku berbahasa Jawa atau Melayu mengenai hidup rohani baru sedikit. Lagi Br. Baudile tidak begitu menguasai bahasa Jawa. Namun ketekunan dan semangat mereka menolong banyak.
Untuk mencari penghidupan, calon-calon antara lain membuat lilin. Usaha itu kemudian diteruskan. Tetapi mereka belum tahu cari yang tepat dari percobaan-percobaan untuk menyempurnakan resep lilin mereka, sehingga kurang berhasil karena mereka tidak cukup tahu tentang ilmu kimia. Sehingga akibatnya hasil mereka kurang memuaskan. Untuk menolong itu, Br. Baudile tatkala berkunjung ke Eropa mencari informasi di beberapa pabrik lilin di negeri Belanda. Akan tetapi kemudian ternyata bahwa resep lilin Eropa kurang sesuai untuk daerah Tropika. Lilin-lilin di altar selalu “membungkuk”. Percobaan-percobaan dimulai lagi dan akhirnya diketemukan sebuah cara yang memberi hasil cukup baik.
Tanggal 6 Januari 1935, yaitu pada pesta Tiga Raja, ketiga novis itu mengikrarkan kaul pertama dan terus mulai bertugas. Br. Paskhalis menjadi pengawas asrama SD Bruder Karitas, Br. Redemptus diangkat sebagai guru di Schakelschool, sedangkan Br. Alfonso pergi mengajar di sebuah SD di desa Tuksongo (di sebelah Timur Laut Purworejo) yang didirikan oleh Br. Baudile untuk tarekat Sihing Widi.
Jumlah calon bertambah-tambah dan akhirnya tempat di novisiat tidak cukup lagi. Dari sebab itu komunitas pindah ke sebuah rumah lama yang terletak di bagian utara pekarangan Bruderan Karitas. Ketika rumah itupun tidak mencukupi lagi, novisiat dipindahkan ke sebuah rumah sewaan di Kutoarjo dan Br. Camelianus diangkat menjadi magister. Situasi itupun belum begitu memuaskan, tetapi akhirnya dapat dibeli sebuah rumah di Jalan Buntu Purworejo, yang setelah beberapa perubahan dapat menampung baik para Bruder maupun novis Tarekat Sihing Widi. Sayang Br. Camelianus telah dihinggapi penyakit TBC. Ia diopname di RS. Bandung, di mana ia meninggal dunia tanggal 26 Februari 1941.
Br. Baudile beniat meluaskan pekerjaan Bruder-bruder Sihing Widi ke desa-desa, antara lain dengan mendirikan sekolah-sekolah di sana. Untuk mendapat tenaga cukup guna hal itu, ia mengadakan kursus pendidikan guru SD. Kursus ini mendapat pengakuan dari inspeksi pendidikan. Sehabis dua tahun di adakan ujian dan salah seorang bruder lulus. Namun beaya kursus dirasa terlalu berat, maka kursus pagi diubah menjadi kursus sore dan guru-guru Katolik diminta mengajar di kursus itu dengan sukarela dan sedikit honorarium.
Walau bruder-bruder yang berijazah masih sedikit sekali, tetapi Br. Baudile sudah membuka sebuah SD lagi, yakni di desa Boro di sebelah Selatan kota Purworejo. Kemudian terjadi jumlah anak yang mendaftar untuk Schakelschool Bruder Karitas terlalu banyak sehingga sebagian tidak dapat ditampung. Dengan demikian Bruder Sihing Widi sempat membuka pula sebuah Schakelschool untuk anak yang belum tertampung itu.
Br. Baudile tetap memegang pimpinan tarekat baru itu dibawah kuasa Mgr. Visser dan usahanya tampak berhasil. Sebelum perang Bruder-bruder yang berkaul sudah berjumlah 17 orang dan semangat mereka boleh dipuji.

Bruderan di Purwokerto

Pada bulan September 1931, setelah lima bruder baru dating dari Negeri Belanda, Bruder Karitas sempat membuka biara mereka yang kedua di Indonesia, yakni di Purwokerto. Komunitas terdiri dari tiga bruder yang baru dan dua orang yang telah berpengalaman dua tahun di Purwoerjo, antara lain Br. Micheas sebagai kepala biara. Untuk tempat tinggal sementara disewa sebuah rumah di pojok jalan Gereja dan jalan Sekolah (sekarang jl. Jend. Gatot Subroto). Mgr. Visser sudah mendirikan sebuah sekolah dan asrama, yang disediakan cuma-Cuma untuk pekerjaan para Bruder Karitas. Dan dalam bulan Oktober mereka membuka HCS dengan asrama, yang disusul oleh HIS. Kedua sekolah itu tidak mendapat subsidi. Di Purwokerto sudah terdapat HCS Negeri, sebuah HCS Protestan yang bersubsidi dan beberapa sekolah Tionghoa lain lagi. Maka HCS dan asrama Bruderan tidak menarik banyak murid karena dirasa terlalu mahal. Akhirnya asrama terpaksa ditutup pada tahun 1939.
Untuk mendapat kontak dengan rakyat, pada tahun 1932 dibuka kursus untuk orang dewasa dengan mata pelajaran bahasa Belanda, bahasa Inggris dan Tata Buku. Kemudian didirikan pula sebuah perkumpulan kepanduan untuk anak-anak sekolah Bruderan. Akhirnya tahun 1932, Bruder Karitas membeli sebuah rumah yang masih agak baru. Lalu komunitas tukar rumah dengan bekas penghuni. Para bruder merasa geli melihat cara kerja para kuli yang memindahkan perabot rumah yang diiringi teriakan-teriakan tetapi dapat bekerja dengan cukup efisien. Rumah itu masih merupakan bagian muka Bruderan sekarang. Tahun berikutnya, rumah itu ditambah dengan beberapa kamar untuk Bruder-bruder yang baru dating. Tahun 1937 dibeli sebidang tanah seluas 2500 M persegi di sebelah Barat rumah biara, lalu di tanah itu didirikan sekolah dengan aula untuk HCS. Kemudian HIS pindah ke gedung di sebelah aula Selatan Gereja (yang dipakai selanjutnya untuk SD Bruderan dan sudah diambil alih oleh keuskupan pada masa kini). Tahun berikutnya, Mgr. Visser mendirikan sebuah gedung asrama lagi yakni di halaman HCS, lalu menghadiahkannya kepada Bruder Karitas.
Setelah asrama dibubarkan, pada tahun 1939, di gedung itu dibuka sebuah MULO dan sebuah Schakelschoo. Kemudian dibeli sebidang tanah sawah seluas 6900 M persegi sebagai lapangan olehraga (tempat SMU Bruderan sekarang) dan juga untuk mendirikan gedung MULO di situ. Sayangnya rencana belum dapat diwujudkan karena kedatangan tentara Jepang.

Bruderan di Tegal

Tahun 1934, pengurus pusat Bruder Karitas mengambil keputusan untuk mendirikan biara di Tegal. Tanggal 3 Oktober diadakan upacara perletakan batu pertama oleh Pastor Schenkels MSC sebagai kepala paroki Tegal. Selain beberapa Bruder Karitas, hadir pula pemuka-pemuka Katolik dan para Suster PBHK beserta murid-muridnya.
Pada waktu itu enam Bruder Karitas baru dibawah pimpinan Br. Canisius sedang naik kapal menuju Indonesia sebagai tenaga untuk biara itu. Tanggal 26 Oktober 1934 mereka sampai di Jakarta, lalu naik mobil ke Tegal. Jalannnya berkelok-kelok dan ketika mereka masuk pastoran hari sudah jauh malam. Tetapi tidak mengapa, semangat tetap berkobar-kobar. Mereka penuh semangat akan melaksanakan karyanya dengan sungguh-sungguh baik.
Pastor Schenkels menyambut para bruder dengan ramah dan mereka segera merasa krasan. Beliau memang seorang imam yang sanggup mengambil hati orang. Ia tidak kenal pamrih dan teladan kesuciannya menjadi sumber kekuatan dan semangat bagi para bruder. Namun saying kesehatannya kurang kuat. Tahun 1937 ia meninggal dunia akibat sakit TBC.
Tengah malam di hari kedatangan itu, Bruder-bruder meninggalkan pastoran untuk pergi tidur di rumah sewaan di samping pastoran. Keesokan harinya, waktu pagi mereka pergi ke susteran. Di sana beberapa ratus anak telah siap untuk menyambut kedatangan para bruder itu. Aula sekolah dihias dan anak-anak menyanyikan beberapa lagu serta membaca ungkapan-ungkapan selamat datang yang bagus-bagus. Selanjutnya anak-anak putra dari sekolah Susteran dipisah dari anak-anak putri dan hari berikutnya bruder-bruder sudah mulai mengajar di ruang sekolah susteran itu untuk bagian putranya.
Menjelang pesta Natal rumah biara sudah dapat ditempati dan tidak lama kemudian gedung sekolah baru dapat digunakan pula Sekolah HCS Bruderan, meskipun banyak anak Jawa dan Eropa di sekolah itu. Permulaannya memang sulit karena bruder-bruder belum mengenal jiwa orang di situ ataupun mengetrapkan metode-metode yang cocok untuk anak-anak itu. Walau begitu baik guru-guru maupun anak-anak merasa bahwa sekolah mereka termasuk sekolah yang hebat, karena semuanya bekerja keras. Akan tetapi ketika sekolah diperiksa selama empat hari oleh dua orang inspektur pendidikan, mereka terbangun dari impian itu. Kedua inspektur itu bukan sahabat misi dan laporan mereka penuh dengan kritik pedas-pedas. Meskipun demikian bruder-bruder ddapat merebut hati anak-anak dan belum sampai lama banyak murid sudah menjadi katekumen. Mereka mendirikan perkumpulan sepakbola dan kelompok penyanyi yang kemudian berkembang menjadi “Koor Santo Paulus”. Koor itu pertama-tama untuk menyanyi di gereja, tetapi selanjutnya menjadi terkenal pula karena pertunjukan-pertunjukan seperti sandiwara Natal dan untuk Passio Minggu Suci. Mereka diundang untuk datang bernyanyi di Pekalongan dan di Ceribon.
Berkat usaha yang terus-menerus, mutu HCS menanjak uterus dan akhirnya para inspektur sangat puas akan hasilnya. Sekarang pekerjaan bruder-bruder dapat diperluas dan tahun 1939 mereka membuka sebuah HIS. (Catatan: pada waktu perang revolusi kemerdekaan RI, seluruh rumah biara dan sebagian dari gedung kena strategi perang pembumi-hangusan oleh para pejuang kemerdekaan).
Sesudah perang kemerdekaan RI, Bruder Karitas melepaskan karya mereka di Tegal supaya sempat membuka lembaga baru untuk anak tunarungu di Wonosobo. Tanah Bruderan dikembalikan kepada Vikariat Apostolik Purwokerto dan reruntuhan biara diserahkan kepada para Suster PBHK di Tegal. Kemudian suster mendirikan klinik bersalin di atas pondasi bekas biara Bruderan Karitas itu.


II. ZAMAN JEPANG (MARET 1942 – AGUSTUS 1945)

Sesudah tentara Jepang merebut Pulau Jawa (Maret 1942), semua sekolah harus ditutup. Kemudian semua misionaris: Bruder, Suster dan Pastor diinternir (ditawan) oleh penguasa Jepang. Bruder-bruder Karitas tersebar di beberapa kamp (tempat tawanan). Selama mereka ditawan, para bruder ikut merawat orang-orang yang sakit di sana. Rumah-rumah biara, tanah, perabot rumah milik bruder dan kebanyakan sekolah dan asrama Bruderan dikuasai oleh tentara Jepang.

Di Purworejo, gedung-gedung Bruderan ditempati oleh polisi Jepang (1943 – 1945). Karena sudah lanjut usianya, Br. Baudile tidak segera diinternir. Ia memanfaatkan kebebasannya sedapat-dapatnya untuk menyediakan makanan bagi anak-isteri orang-orang Belanda yang diinternir. Karena anak-isteri dari keturunan Belanda baru diinternir oleh Jepang setelah kira-kira satu setengah tahun sesudah bapak atau suami mereka diinternir. Br. Baudile sampai menjual milik biara untuk menolong orang-orang dan anak-anak yang terlantar itu. Namun, bulan Juni 1943, Br. Baudile pun mengalami nasib seperti bruder-bruder yang lain. Mula-mula ia diinternir di Muntilan, kemudian dipindahkan ke kamp di Salatiga (sekarang menjadi Institut Roncalli). Kesehatannya sudah lemah karena telah lama ia mengidap penyakit diabetes. Karena kekurangan makanan dan obat, ia pada akhirnya menjadi buta, lalu meninggal pada tanggal 3 Januari 1944 pada malam hari. Menurut Br. Galenus, yang menghadiri saat kematiannya, pada hari berikut setelah meninggalnya Br. Baudile terjadilah sesuatu yang sungguh-sungguh mengherankan, yakni ketika jenazah Br. Baudile diusung ke luar kamp menuju pekuburan, maka pada pintu pagar kamp berdirilah sejumlah rombongan utusan umat dari Paroki Purworejo. Bagaimana mungkin dalam waktu yang singkat dan dalam keadaan komunikasi yang sulit itu, kabar kematian dari kamp Salatiga dapat sampai ke Purworejo. Dan bagaimana mungkin utusan dapat sampai ke Salatiga, entahlah, itu menjadi teka-teki bagi Br. Galenus.
Oleh karena semua sekolah Bruder Sihing Widi juga ditutup, para bruder Sihing Widi yang guru dipekerjakan di pabrik lilin milik tarekat Sihing Widi.. Selang beberapa waktu, sekolah-sekolah negeri boleh dibuka kembali, tetapi sekolah-sekolah swasta tidak. Itu pukulan keras bagi pekerjaan bruder, karena sekarang murid-murid pindah ke sekolah negeri. Setelah banyak langkah dan kusaha, mereka pada akhirnya mendapat izin untuk membuka sekolah-sekolah mereka lagi. Namun tiada murid yang mau kembali lagi. Tatkala ditanya mereka mempunyai dua macam alasan: pertama, di sekolah tak usah membayar uang sekolah, dan kedua, bersekolah di sekolah misi dikatakan berarti masuk Katolik. Padahal agama Katolik itu agama Belanda dan orang Belanda itu musuh Jepang. Maka mereka khawatir akan ditolak oleh Jepang nanti.
Karena kedua alasan itu, uang sekolah serta pelajaran agama ditiadakan. Lalu beberapa anak mendaftarkan diri, namun jumlah mereka hanya sedikit. Biar demikian, sekolah tetap diteruskan dan setelah dua tahun jumlah murid sudah cukup banyak.
Celakanya, pada saat itu Jepang bertindak lagi dengan tidak kenal ampun. Semua sekolah swasta harus ditutup kembali. Gedung-gedung sekolah menjadi milik pemerintah Jepang, guru-guru harus mendaftar untuk mengajar di sekolah-sekolah negeri dan harus menerima persyaratan dari pemerintah Jepang. Para bruder merasa tidak dapat menerima syarat-syarat itu, lalu menurut sekolah mereka lagi.
Keadaan selanjutnya menjadi sangat berat bagi para bruder Sihing Widi. Bahan baku untuk pabrik lilin harganya menjadi sangat mahal dan semakin sulit diperoleh. Namun mereka tidak putus asa, tetapi menggiatkan usaha mereka yang lain, seperti membuat sabun, semir sepatu, tali sepatu, kertas dan usaha berkebun.
Tentara Jepang yang selalu melihat musuh di mana-mana makin mencurigai mereka dan akhirnya Bruder kepala dari Tarekat Sihing Widi waktu itu, yaitu Br. Paskhalis Saparje Widyosusanto, ditahan oleh Kempetai (tentara Jepang). Ia dituduh menjadi mata-mata musuh dan mendengarkan siaran radio luar negeri. Di zaman penjajahan Jepang ada larangan mendengarkan radio siaran luar negeri. Br. Paskhalis dipukuli agar mengakui tuduhan itu. Selang seminggu kemudian, bruder-bruder Sihing Widi yang lain juga ditahan karena dianggap terkait dengan Br. Paskhalis, namun setelah diperiksa mereka boleh pulang ke rumah biara lagi. Meskipun dalam pemeriksaan itu Br. Alfonso diperintahkan berkelahi dengan Br. Paskhalis oleh tentara Jepang, padahal Br. Alfonso itu orangnya lemah-lembut dan tak pandai bergelut. Tetapi untuk “memuaskan” tentara Jepang itu, mereka “bergelut dengan seru” tanpa harus menyakiti satu sama lain. Hanya Br. Paskhalis tetap ditahan dan kemudian dipindah ke penjara di Ambarawa, di mana ia tinggal selama 20 bulan di sana. Tanggal 15 Agustus 1945, ia dibebaskan.
Waktu itu zaman penjajah Jepang itu, bruder-bruder Sihing Widi menjaga gedung-gedung dan semua asset Bruder Karitas dan asset di beberapa Gereja/Paroki, sehingga tidak semua asset hilang. Mereka juga membantu Pastor sesuai kemampuan mereka. Misalnya, Br. Alfonso Wiryotaruno tinggal di Pastoran Purworejo dari tahun 1942 sampai 1945, kemudian membantu pastor di Pekalongan selama enam bulan.

Di Purwokerto, pada tanggal 13 April 1942 para Bruder Karitas mendapat perintah dari komandan Jepang untuk mengosongkan dan membersihkan semua ruang sekolah. Dan itu harus selesai sebelum jam 12 siang. Di samping itu ada perintah menghadiri rapat yang akan diadakan di karesidenan pada jam 12 siang pula. Maka bruder-bruder bekerja keras pagi itu. Lalu sebelum makan mereka pergi ke kantor karesidenan. Mereka mengira hanya untuk mendengarkan beberapa penjelasan saja, tetapi yang disuruh dating ke “rapat” itu hampir semua orang laki-laki orang Eropa dari kota Purwokerto dan sekitarnya, dan mereka terus disuruh berbaris bersama tentara Jepang ke sekolah Bruderan untuk diinternir (ditawan) di lokasi sekolah itu. Rupanya itulah maksudnya para bruder diperintahkan untuk mengosongkan ruangan kelas. Dengan demikian, para bruder “menikmati” hasil jerih payah kerjabakti mereka sendiri.
Pada bulan Desember mereka dipindahkan ke penjara di Pekalongan, lalu ke kamp di Ngawi dan akhirnya ke tangsi di Cimahi. Di sana mereka tinggal sampai akhir perang.

Di Tegal. Waktu itu Br. Joanetus dan Br. Aderitus telah mengikuti latihan Palang Merah untuk kebutuhan setempat. Tetapi pada waktu tentara Jepang mulai masuk daerah sekitar Tegal, kedua bruder itu diminta ikut masuk hutan oleh komandan KNIL (tentara Hindia Belanda) untuk membantu PPPK. Ternyata mereka tertangkap oleh tentara Jepang.
Bruder-bruder Karitas di Tegal ditangkap oleh tentara Jepang dan diinternir di Cilacap. Pada saat pembebasan, kedua bruder yaitu Br. Joanetus dan Br. Adritus tidak dibebaskan karena dianggap anggota tentara KNIL. Br. Joanetus yang mengidap penyakit asma dan malaria, kena penyakit thypus pula, lalu meninggal pada tanggal 30 Maret 1942. Br. Aderitus dibawa oleh tentara Jepang ke Jakarta dan akhirnya ke Pakanbaru. Di kamp itu pula ia harus ikut membangun jalan kereta api di tengah rawa dan hutan. Keadaan sangat parah di situ, namun Br. Aderitus sempat juga menolong banyak orang sakit terutama yang mendekati ajalnya, khususnya dengan bantuan rohani.
Bruder kepala biara di Tegal, yaitu Br. Nicasius juga diinternir pada bulan April 1942. Oleh karena semua sekolah misi ditutup, bruder-bruder anggota komunitas Tegal pergi ke Purworejo. Di Purworejo, mereka akhirnya juga diinternir bersama dengan Br. Baudile.



III. MAJU LAGI SETELAH INDONESIA MERDEKA

Di Purworejo
Setelah Bruder-bruder Karitas keluar dari kamp, mereka berangsur-angsur berangkat pulang ke negeri Belanda untuk memulihkan kesehatannya.

Mengenai Bruder-bruder Sihing Widi, setelah menikmati kemerdekaan selama sebulan mereka dibangunkan tengah malam oleh Polisi Republik, lalu dimasukkan penjara demi keamanan mereka. Sebulan kemudian mereka boleh pulang ke biara, namun mereka tetap dijaga oleh polisi dan sekali seminggu harus melaporkan diri. Beberapa kali mereka mencoba membuka sekolah, akan tetapi setiap kali timbul bermacam-macam kesulitan sehingga harus ditutup lagi. Oleh karena semuanya masih serba kurang, mereka sangat menderita. Dua bruder dan seorang novis malah meninggal dunia akibat sakit T.B.C. yaitu: Br. Adriyanus Siswosoebroto, Br. Chrysanthus Joedawiadi dan Br. Mattheus Sarijo. Beberapa bruder tidak kuat lagi melihat semua penderitaan itu lalu mereka meninggalkan biara. Syukur pabrik lilin dapat dimulai kembali, karena masyarakat membutuhkan lilin untuk penerangan. Maklum minyak tanah sudah tidak ada lagi. Banyak orang menderita lapar dan para bruder hendak membantu mereka sedapat-dapatnya. Untuk itu mereka membuka sebuah rumah piatu bagi anak berumur 8 - 12 tahun. Br. Egidius Mardisukarto dan Br. Josef Dwijawiyata bertugas berat pada waktu itu karena kesulitan mendapatkan sesuatu untuk mencukupi kebutuhan anak-anak piatu tersubut. Tiba-tiba "dari gelap timbullah terang," yaitu pabrik lilin mulai menarik perhatian dari tentara Indonesia. Mereka mengadakan kontak dengan Bruder Sihing Widi untuk membeli 20.000 lilin sehari. Bahan untuk itu akan disediakan pula. Sudah barang tentu para Bruder bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Baik, karena mereka mendapatkan jalan keluar yang baik. Sekarang hasil pabrik, ditambah dengan sumbangan dari Palang Merah dan dari Kementrian Sosial cukup untuk bembeayai rumah piatu. Bahkan Bruder-bruder dapat menyokong rumah piatu susteran Kutoarjo juga. Mereka berhasil pula membuka sebuah SD 6 tahun di dekat rumah mereka, namanya sekolah Rakyat Karitas.Namun ada tantangan yang berat bagi tarekat Sihing Widi, karena jumlah Bruder hanya tinggal delapan orang dan tiada calon baru. Tambahan pula bahwa Br. Baudile sudah tidak ada dan Mgr. Schoemaker yang sesudah revolusi menggantikan Mgr. Visser, tidak dapat menyediakan seorang pastor untuk memimpin tarekat. Dari sebab itu beliau hendak menggabungkannya dengan tarekat Bruder Karitas. Setelah mendapat persetujuan dari pihak Bruder Karitas dan dari kebanyakan Bruder Sihing Widi, ia mengajukan surat permohonan kepada Tahta Suci tanggal 15 Juli 1953 dan Roma memberi persetujuan. Kemudian pada 15 Agustus 1953 sebulan kemudian penggabungan diresmikan dan dirayakan dengan upacara sederhana di kapel Bruderan Karitas Purworejo.Tentang pembangunan kembali karya Bruder Karitas di Purworejo. Tahun 1945, setelah Kempetai meninggalkan gedung-gedung biara, polisi RI menempatinya sampai bulan Desember 1948, kemudian diganti oleh polisi federal dibawah tentara Belanda sampai Oktober 1949.Pada bulan September 1949, Br. Micheas datang dari Purwokerto (lihat tentang Purwokerto) untuk melihat apakah sekolah-sekolah Bruderan di Purworejo dapat dibuka lagi. Setelah berembug dengan Pastor Paroki, Bruder Sihing Widi, serta pemuka Katolik, diambil keputusan membuka sebuah SMP seperti yang pernah diselenggarakan oleh umat paroki tahun 1947-1948. Selanjutnya Br. Micheas pergi ke Semarang untuk berunding dengan inspeksi sekolah. Barang siapa mengenal Bruder Micheas tentu mengakui kemampuannya berunding, karena hasil perundingan yang sangat memuaskan yakni pengakuan SMP Bruderan di Purworejo sebagai "Sekolah Pool". (sekolah dengan kedudukan seperti sekolah negeri, namun menjadi urusan misi).Setelah berhasil Br. Micheas pulang ke Purworejo untuk persiapan dan pada tanggal 18 Oktober Br. Gabinus pindah dari Purwokerto ke Purworejo. Usaha Br. Gabinus akhirnya berhasil untuk mengambil alih kembali semua gedung dari tangan polisi federal, yang sudah siap berangkat (tgl 21 Oktober 1949). Namun keesokan harinya ia disuruh meninggalkan biara lagi karena sekarang polisi RI hendak menggunakannya. (Gedung biara itu akhirnya dikembalikan pada tahun 1950).Untuk mencegah gedung asrama jangan mengalami nasib yang sama, ia lekas menyuruh Bruder Sihing Widi untuk memindahkan SD mereka ke situ. Akal itu ternyata berhasil, sebab asrama tidak jadi diminta oleh polisi. Pada tanggal 14 November SMP sudah dibuka. Gedung sekolah Bruderan yang ada di sebelah utara gereja itu ditempati oleh dua sekolah negeri sejak 1945. Salah satu bagian gedung diserahkan kembali kepada misi, lalu ditempati oleh SD Karitas. Sebagian gedung yang lain baru diserahkan kembali pada tanggal 21 November 1975.

Karena seluruh vikariat Purwokerto tidak mempunyai sekolah untuk pendidikan guru, maka pada tahun 1951 dibuka SGA Bruderan yang dikepalai oleh Br. Heradus. Dalam riwayatnya SGA yang kemudian disebut SPG mengalami pasang surut, antara lain karena pelbagai instruksi dari Jakarta. Sekolah ini mengalami perkembangan pesat.
Pada tahun 1951 ada tiga Bruder datang dari Negeri Belanda, yakni Br. Libanius, Br. Patricius dan Br. Erminus. Dengan tenaga baru itu dapat diadakan sebuah asrama untuk siswa-siswi SMP dan SGA.

Pada tahun 1958 dibeli sebidang tanah di Jl. K.H A. Dahlan, yang sebelah barat berdampingan dengan Bruderan. Disitu didirikan gedung untuk novisiat. Pada tahun 1960 novisiat pindah dari Purwokerto ke gedung yang baru itu. Tetapi sejak permulaan tahun 1971 para novis melangsungkan novisiat tahun pertama di Jawa Timur (di Malang, kemudian di Lawang) bersama dengan novis tarekat BHK dan BM. Dan novisiat tahun kedua di Yogyakarta. Gedung novisiat di Purworejo dipakai untuk kamar beberapa Bruder dan postulan-postulan serta sebagian dipakai untuk TK Karitas yang belum mempunyai gedung sendiri (1978). Setelah TK mempunyai gedung sendiri, bekas novisiat itu dipakai untuk perintisan karya baru yaitu SLB/C (1982). Setelah SLB/C mempunyai gedung sendiri di desa Boro Wetan (sebelah Selatan kota Purworejo), gedung bekas novisiat itu dipakai untuk asrama putra SMP sejak tahun 1998.

Komunaitas Bruder Karitas Purworejo tahun 1978

Pada tahun 1981 dibangun gedung baru untuk SPG di tanah yang sama agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman dan peraturan dari Departemen P dan K. SPG itu akhirnya dialih-fungsikan menjadi SMA Bruderan pada tahun 1988 karena semua SPG harus ditutup sesuai aturan pemerintah. Dan pada tahun 1997 dimulai asrama putra untuk SMA di bekas asrama yang lama.

Pada tgl. 18 Mei 2004, diresmikan komunitas Bruder Karitas di Kompleks SLB/C Boro Wetan dan ditugaskan sebagai coordinator komunitas adalah Br. Elias Jani FC. Komunitas baru itu juga mengembangkan keterlibatan social dengan masyarakat desa dan umat Katolik setempat. Dan di tahun itu juga, TK Karitas Purworejo dihentikan kegiatannya berdasarkan kebijakan MPK dan juga Kongregasi Bruder Karitas bahwa bila jumlah murid tak mencukupi, baiklah kalau di sebuah lokasi berdekatan cukup ada satu sekolah Katolik saja. Karena di wilayah paroki Purworjeo ada 2 buah TK Katolik berdekatan, maka TK Karitas yang dihentikan dan TK St. Maria yang dikelola Suster PBHK diteruskan. Gedung bekas TK Karitas dipersiapkan untuk karya baru yaitu Panti Rehabilitasi Orang Sakit Jiwa.


2. Di Purwokerto
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Br. Alfonso mulai membuka H .I .S lagi. Waktu clash pertama, Juni 1947, Purwokerto diduduki oleh tentara Belanda. Mgr. Visser segera pergi ke sana untuk mengetahui keadaan. Kotanya ternyata sepi, sebab sebagian besar dari penduduk pribumi telah lari ke pegunungan sebagian rumah Bruder dan sekolah telah dibakar. Dengan bantuan Br. Alfonso dan beberapa guru Tionghoa, Mgr. Visser dapat mendirikan sebuah sekolah di bekas gedung H.I.S. Muridnya kebanyakan anak Tionghoa dan atas permintaan orang tua bahasa Belanda dijadikan bahasa pengantar. Memang permintaan itu ada hubungannya dengan situasi politik watu itu. Kemudian bersama dengan Pak Beter dan Pak Rasikun, Mgr. Visser membuka juga beberapa sekolah untuk anak-anak Jawa. Untuk dapat menghidupkan kembali sekolah-sekolah misi, ia minta beberapa tenaga Bruder kepada pengurus Bruder Karitas di negeri Belanda. Walaupun mula-mula dikemukakan beberapa keberatan, namun akhirnya ditentukan bahwa Br. Micheas dan Br. Josserandus akan kembali ke Indonesia. Pada tanggal 2 Desember 1947 mereka sampai di Purwokerto dan untuk sementara waktu menginap di pasturan. Segera diadakan rencana kerja. Br. Micheas akan mengepalai SD dan Br. Josserandus akan membuka SMP. Kedua sekolah akan menjadi "Sekolah Pool" maksudnya akan mendapat kedudukan seperti sekolah negeri, namun menjadi urusan misi. Kebetulan tentara Belanda telah meninggalkan gedung bekas H.I.S. Negeri di dekat alon-alon, maka gedung itu dapat digunakan sebagai tempat sementara untuk SMP Bruderan. Setelah dicari bangku dan beberapa peralatan lain, pada tanggal 7 Desember 1947 sekolah dimulai. Tidak lama kemudian sekolah mendapat tambahan guru dan terjadilah banjir murid, sampai ratusan anak tidak dapat diterima karena kurang tempat. Untunglah pada waktu itu tentara Belanda meninggalkan biara dan gedung HCS. Br. Josserandus segera bertindak: anak-anak yang tidak tertampung dulu / dicatat dan pada tanggal 2 Pebruari 1948 diadakan test. Anak-anak yang lulus test lalu ditempatkan di gedung H.C.S. tersebut, bersama-sama mereka yang pindah dari gedung sekolah yang di dekat alon-alon. Pada tanggal 13 Pebruari 1948 tibalah beberapa suster Ursulin yang sudah lama dinanti-nantikan dan sedikit demi sedikit mereka mengambil alih anak puteri dari SMP Bruderan.Tahun 1949 komunitas mendapat tambahan lima Bruder, yakni Br Aetius, Br. Gabinus, Br. Heradus, Br. Aderitus dan Br. Gennardus. Tetapi dua diantara mereka hanya untuk sementara waktu, karena Br. Heradus dan Br. Gabinus tidak lama kemudian ke Purworejo. Pada tahun 1950 status "Pool" untuk semua sekolah ditiadakan oleh pemerintah Indonesia. Kebanyakan dari bekas sekolah Pool kemudian mendapat subsidi, antara lain semua sekolah Bruderan yang ada pada waktu itu. Semua itu berkat usaha Br. Micheas. Para guru bebas memilih: tetap bekerja pada sekolah-sekolah Bruderan atau pindah menjadi guru sekolah negeri. Di SMP hal ini menimbulkan kesukaran karena cukup banyak guru memilih menjadi guru di sekolah negeri dan dipindahkan oleh inspeksi. Tetapi kesulitan ini juga dapat diatasi.

-----------------------------------------------------------------------------------------

SISIPAN:  SEJARAH SMP BRUDERAN PURWOKERTO
    Dalam Perang Dunia II, Indonesia diduduki Jepang, orang Eropa yang berada di Indonesia diinterogasi, termasuk para bruder Karitas di Indonesia. Usaha pendidikan yang dikelolanya dibekukan, gedung dan fasilitas pendidikan lainnya disita oleh tentara Jepang.
    Usai perang para bruder Eropa di bawa ke Eropa, sampai beberapa lama para bruder tidak diperbolehkan kembali ke lapangan kerja mereka di Indonesia, dengan alasan di Jawa Tengah keadaan belum aman, masih ada perang gerilya dari Bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaannya.
    Waktu masa 'Clash pertama' , Purwokerto di rebut tentara Belanda. Maka suasana dianggap aman, Mgr. Visser MSC, pimpinan Gereja Katolik Purwokerto (Administrator Apostolik Purwokerto), meminta kepada pimpinan Bruder Karitas supaya mengijinkan 2 orang bruder kembali ke Jawa Tengah, khususnya Purwokerto. Mereka ditugaskan sebagai peninjau, perintis dan membereskan sekolah yang ditinggalkan cukup lama. Tujuannya, agar generasi muda bangsa Indonesia mendapatkan pelayanan pendidikan yang layak.
    Pendudukan tentara Belanda di Purwokerto mengakibatkan sebagian besar warga kota panik, lalu mengungsi ke gunung untuk beberapa lama. Setelah situasi reda, mereka kembali ke kampung halamannya. Kondisi meeka memprihatinkan, badannnya kurus, terkena penyakit, antara lain penyakit kulit, termasuk juga anak-anak muda usia sekolah, banyak yang terlantar.
    Mgr. Visser yang sudah kembali ke Purwokerto sebelum 'clash pertama', berusaha membenahi pendidikan, agar anak muda harapan bangsa itu, bisa sekolah. Kesulitan muncul, di wilayah ini, tidak ada guru.
    Kedua bruder, Br. Micheas FC dan Br. Joss (-Josserandus) FC, kembali ke Purwokerto untuk memulai karya yang ditinggalkan sebelum perang meletus. Muncul keraguan di hati mereka, apakah masyarakat, terutama kaum muda Purwokerto bisa menerima kehadiran para bruder yang Belanda itu. Mereka ada yang berpandangan bahwa para bruder dari Eropa adalah kaki-tangan tentara Belanda. Padahal kedua bruder itu berpandangan yang berbeda dengan sikap pandang penjajahan. Pendapat para bruder Belanda itu adalah 'Bangsa Indonesia berhak atas kemerdekaan'. Akhirnya kami berkarya dengan penuh keyakinan dan menepis keraguan itu.
    Keputusan Pemerintah Belanda mengirim ratusan pegawai ke Indonesia, untuk 'membangun' kembali negeri jajahannya, barangkali yang memungkinkan kedua bruder itu dapat ke Indonesia bersama dengan 90 rohaniwan Katolik dan beberapa Pendeta Protestan. Mereka berangkat dari pelabuhan Amsterdam, bersama ratusan penumpang kapal yang semuanya pria. Mereka menumpang kapal barang yang biasa dipergunakan untuk mengangkut tentara, dengan kondisi yang jauh dari kemewahan.
    Mereka datang di Jakarta pada tgl. 19 Nopember 1947, tidak langsung ke Jawa Tengah, karena kesulitan transportasi. Waktu yang ada dipergunakan untuk membenahi berbagai keperluan kerja dan mencari informasi tentang pekerjaan yang akan dilakukannya. Dari Jakarta mereka ke Wirasaba, naik pesawat terbang, lalu dilanjutkan dengan naik mobil ke Purwokerto dan tiba pada tgl. 2 Desember 1947.
    Di Purwokerto sudah berdiri SR (Sekolah Rakyat) yang sekarang SD, atau di zaman Belanda sekolah ALS (Algemene Lugere School) atas prakarsa Mgr. Visser dan Bapak Rasikun. Sekolah itu yang kemudian dikenal sampai sekarang dengan SD Bruderan Purwokerto. Bapak Rasikun adalah sosok pekerja keras dan cinta pada pekerjaannya sebagai guru karena ia lulusan sekolah guru. Setelah Br. Micheas datang, jabatan pimpinan SR, yang saat itu diemban oleh Bpk. Rasikun diserahkan kepada Bruder dengan senang hati. Tidak lama setelah itu, Bpk. Rasikun mengundurkan diri dari dunia pendidikan.
    Untuk memnuhi kebutuhan sekolah tingkat menengah pertama Bpk. Moekiman dan Soedjono, dua orang guru yang berpengalaman, mulai merintis dengan mendaftar peminat masuk Sekolah Menengah. Sekolah mempergunakan gedung bekas HIS yang di zaman Jepang dijadikan barak tentara Jepang yang terletak di alun-alun kota Purwokerto, gedung itu masih kosong sehingga bisa dipakai untuk sekolah. Bangku-bangku diisi dari sekolah Bruderan. Br. Joss ditugasi mengurus Sekolah Menengah Pertama yang dirintisnya.
    Sekolah Menengah tingkat Pertama itu mulai pada tgl. 8 Desember 1947 dengan status 'Sekolah Pool', yang berarti sekolah berstatus pemerintah, walaupun pengelolannya swasta, berdasarkan keputusan dari Jakarta. Sekolah itu menerima bantuan gaji guru dan perlengkapan sekolah, seperti alat tulis, buku dari pemerintah. Jenjang SMP ini empat tahun, jumlah kelas 4 buah: kelas I dua kelas, kelas II dan iII masing-msing satu kelas. Sekolah tidak mampu menampung animo yang mau masuk, maka diberlakukan sistem tunggu atau mencalonkan diri sebagai siswa. Semangat belajar mereka sungguh luar biasa. Mereka merasa dirugikan oleh perang yang begitu lama.
    Sekalipun yang berkarya di sekolah itu adalah orang Bruder yang orang Barat, namun mereka tidak mengalami masalah menyangkut kebangsaan. Para murid tahu bahwa para Bruder itu berbeda dengan sikap penjajah Belanda.
    Animo masuk Sekolah Menengah tingkat Pertama sangat tinggi, sementara tempat dan tenga pengajar kurang, maka 5 Februari 1948, pengelola sekolah mengambil kebijaksanaan mengadakan test seleksi kenaikan kelas bagi yang sudah kelas 2 keatas. Dari test seleksi itu didapatkan ada siswa yang harus diturunkan kelas, ada yang harus ditempatkan di kelas yang lebih tinggi. Ada 20 anak dipandang tidak layak melanjutkan sekolah (dikeluarkan). Sikap keras dan tegas ini diambil agar anak memiliki kemampuan tinggi untuk melanjutkan sekolah. Pendaftaran siswa baru dibuka lagi, 300 anak mendaftar. Pukul 11.00 pengumuman test. Bersamaan dengan itu situasi agak mencekam, ditambah lagi ada konvoi militer TNI, melintas dijalan depan sekolah (sekarang Jl. Jend. Gatot Soebroto Purwokerto). Jumlah siswa -siswi yang diterima seluruhnya 249: putra 141, puteri 108.
    Sesuai dengan Perjanjian LInggar Jati, anak-anak sekolah Poll itu (satu-satu sekolah menengah waktu itu di Purwokerto) dibawa ke Yogyakarta. Di perjalanan, anak-anak berpekik 'merdeka'. Pekikan heroik itu terjadi di daerah yang masih dikuasai Belanda, yang belum mengakui kemerdekaan Indonesia. Di pinggir jalan ada militer yang berusaha memperingatan anak-anak. Dua hari setelah Br. Joss menjadi Kepala Sekolah Poll, ia dipanggil Residen Banyumas untuk dimintai keterangan menyangkut peristiwa itu. Residen khawatir Sekolah Pool itu menjadi sarang pengacau. Namun Br. Joss dapat meyakinan Residen bahwa siswanya tidak bertindak sebodoh itu. (sic! Anda yang jeli dapat melihat hal perjuangan bruder yang Belanda itu dalam peristiwa ini, ia diterima anak-anak Indonesia dan juga Residen Belanda).
    Sekolah Pool itu mendapat lisensi langsung dari Pusat, Jakarta, sedangkan tingkat Provinsi belum mengetahui berdirinya sekolah ini, maka 13 Februari 1948, Inspektur dari Semarang mengadakan peninjauan di sekolah Poll Purwokerto.
    Sekolah makin menunjukkan keberadaannya, pengelolaan sekolah makin teratur, situasi makin tenang dan kemajuan makin menjadi nyata. Bulan Maret ada instruksi dari Departeman untuk menarik Uang Sekolah antara Rp. 0,10 sampai Rp. 0,25  (10 sen sampai 25 sen / 1 ringgit).
    Tanggal 20 Desember 1947, ada kabar bahwa tentara akan meninggalkan gedung sekolah bekas HCS Bruderan (sekarang SMP Bruderan Purwokerto). Tanggal 5 Januari 1948 gedung itu dibenahi kembali untuk dijadikan sekolah lagi.
    Untuk menampung lulusan SR (sekarang SD), 15 Juni 1948 disepakati untuk mendirikan Sekolah Menengah baru, yang kemudian dikenal dengan mana Sekolah Menengah Pool II (Bruderan), sementara yang di alun-alun Sekolah Pool  I .  Sekolah Pool  I  tanah dan gedung milik pemerintah, sementara sekolah Poll II tanah dan gedung milik swasta Bruderan, tapi pengelolanya sama yaitu swasta yang dipimpin oleh Br. Joss.
    Atas permintaan Residen, yang didesak beberapa orangtua murid, para Bruder mulai mendirikan MS (diddlebare School), materi pelajaran sama dengan Sekolah Menengah Pool, bedanya MS mempergunakan bahasa pengantar Belanda, namun bahasa Indoenesia dijadikan mata pelajaran yang penting. Sekolah ini didirikan juga untuk menampung murid HIS, HCS (SD dengan bahasa pengantar Belanda) dsb. Diharapkan tingkat pengetahuan tamatan Sekolah Menengah Pool sama dengan MS.
    Clash II meletus, 19 Desember 1948, namun minat masuk sekolah tidak surut, meski sempat ada kekhawatiran terjadinya gangguan dalam proses belajar.
    Akhirnya 29 Desember 1949, Pemerintah Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia yang sudah diproklamirkan 17 Agustus 1945. Di alun-alun, 16 Desember 1949, diadakan upacara penyerahan kekuasaan kepada TNI. Para siswa menyambut gembira, terlebih saat bendera Belanda diturunkan dan diganti dengan bendera Merah Putih. Di sekolah juga diadakan upacara bendera, kenaikan Sang Saka Dwi Warna Merah Putih, bersamaan dengan kumandang lagu Indonesia Raya yang diiringi biola dari Br. Aetius FC (orang Belanda).
    Sekolah Menengah maupun MS yang 4 tahun itu pada tahun 1950 diubah menjadi SMP (3 tahun). Pada tahun itu juga, sistem yang lama disesuaikan dengan sistem yang berlaku bagi Indonesia. Dalam bulan Juli siswa kelas IV diberi ijazah pola lama. Hal itu terjadi tahun 1949, murid kelas III harus menempuh ujian akhir. Sekalipun kurang persiapan, namun banyak murid yang berhasil. Penyesuaian ini juga berdampak pada penghapusan Pool, dan sekolah Pool II Bruderan juga berubah nama menjadi SMP Bruderan (Bersubsidi) dan itu terjadi pada bulan Oktober 1950. Sementara sekolah Pool yang di alun-alun itu menjadi SMP Negeri I.
    Ada bebeapa akibat dari kebijakan baru itu, anak yang tadinya di sekolah Pool Bruderan sebanyak 10 persen pindah ke SMP Negeri I, dan juga guru-guru yang tadinya dibawah satu atap kepemimpinan dalam sekolah Pool lalu boleh memilih mau ke SMP Negeri I atau di SMP Bruderan, sehingga sebagian dari guru memilih ke SMP Negeri I.  Akibatnya ada kekurangan guru pada SMP Bruderan saat itu, maka pada para bruder Karitas yang datang lagi dari Belanda antara tahun 1948 - 1949 yaitu Br. Aredius, Br. Aetius, Br. Aderitus, Br. Gabinus, Br. Gennardus dan Br. Heradus mengajar di SMP Bruderan, baik purna waktu maupun paruh waktu. Tetapi semua itu belum mencukupi, sehingga didatangkan guru-guru baru dari Solo.
    Kelas campuran putera dan puteri berlangsung sampai tahun 1952. Tetapi karena waktu itu pendidikan Katolik mempunyai kebijakan terpisah antara putera dan puteri, maka meski itu satu sekolah SMP Bruderan, maka anak-anak puteri ditaruh di unit sekolah Susteran dan yang putera tetap di SMP Bruderan itu.  Suster-suster mulai aktif mengelola untuk urusan anak-anak perempuan.  (ini nanti menjadi embrio dari SMP Susteran Purwokerto). Pada waktu itu Susteran juga menyelenggarakan Sekolah Kepandaian Putri, sekolah kejuruan setingkat SMP.
    Untuk menampung lulusan SMP, para Bruder memikirkan untuk mendirikan SMA. Tanggal 1 Agustus 1951 berdirilah SMA Bruderan Purwokerto (putra-putri muridnya).
    Karena Br. Joss menjadi kepala sekolah SMA Bruderan, maka Br. Gennardus menjadi kepala sekolah SMP Bruderan menggantikannya. Meski demikian, Br. Joss tetap mengajar bidang studi Bahasa Inggris di SMP Bruderan selama kurang lebih 20 tahun.
    Pesan terakhir Br. Joss waktu menyerahkan jabatan kepsek: "Hendaklah orang lain melanjukan riwayat SMP Bruderan Purwokerto (Bersubsidi) yang sudah dirintis sejak Indonesia masih berjuang merebut kemerdekaannya. Semoga dengan pertolongan Tuhan Yang Mahabaik, sekolah ini berkembang terus, demi kemajuan bangsa dan negara Indonesia, dan demi Kerajaan Allah di Indonesia".
--------------------------------------------------------------------------------------------------


Atas permintaan banyak orang tua, pada tahun 1951 SMA Bruderan dimulai dibawah pimpinan Br. Josserandus. Pada awal Desember 1951 semua Bruder Karitas (Belanda) di Indonesia memilih kewarganegaraan Indonesia, kecuali mereka yang tidak berhak untuk memilih karena belum cukup lama tinggal di Indonesia. Dalam tahun 1952 Br. Gabinus pindah kembali ke Purwokerto dan diangkat sebagai kepala misi merangkap kepala biara Purwokerto. Di samping segala kesibukan ia masih menyempatkan diri untuk mengajar di SMP. Br. Micheas pindah ke Purworejo untuk menjadi sekretaris Yayasan Pius. Yayasan itu sesuatu badan yang mengurus segala hubungan semua sekolah Suster dan Bruder yang bersubsidi di wilayah vikariat Purwokerto dengan pemerintah. Tanggal 15 Oktober 1953 SMA Bruderan mendapat beslit subsidi dari inspeksi. Masih dalam tahun 1953 ini didirikan sebuah perkumpulan untuk anak Tionghoa oleh Br. Aderitus dan diadakan sebuah kursus bahasa Inggris untuk dewasa oleh Br. Josserandus, sedangkan Br. Aetius menyelesaikan penyusunan kamus bahasa Jerman-Indonesia (yang akhirnya diterbitkan oleh Penerbit Erlangga-Jakarta). Kamus itu ternyata mengalami cetak ulang terus. Berhubung dengan penggabungan Tarekat Bruder Sihing Widi maka pada tanggal 16 Juni 1953 Br. Josef Dwijawiyata pindah ke Purwokerto.Sebulan sesudahnya Br. Aderitus pindah ke Purworejo untuk menjadi kepala SMP. Br. Genardus menggantikan sebagai kepala SMP di Purwokerto. Tugas Br. Gennardus kemudian diganti oleh Br. Aquinus. Bulan Juli 1955 mulai membangun gedung SMA Bruderan. Sejak dimulainya SMA, siswanya belajar dengan menumpang di gedung SD Bruderan dan bahkan terpaksa menempati dua ruang (antara lain kamar makan) di biara.Dalam bulan Juli 1955 itu juga di biara, yang sudah diperluas ini dibuka novisiat Bruder Karitas pertama kalinya untuk pemuda Indonesia. Ada tiga orang postulan yang pertama kali masuk Tarekat Bruder Karitas, yang satu tahun kemudian menerima jubah dan diberi nama biara Br. Bernardius, Br. Fererius dan Br. Sebastianus. Lima tahun lamanya novisiat bertempat di Purwokerto, lalu dipindahkan ke Purworejo pada tahun 1960.Oleh karena murid SD Bruderan sudah terlalu banyak, maka pada tahun 1955 dibuka SD lagi, yaitu SD Karitas. Untuk SD ini tahun 1958 didirikan gedung baru di Kejawar, yang termasuk wilayah paroki Purwokerto Timur.Pada tanggal 24 November 1957 Tarekat Bruder Karitas memperingati 150 tahun berdirinya oleh Rama Petrus Yosef Triest di kota Gent Belgia. Mgr Schoemaker mempersembahkan misa pontifikal di halaman SMP. Selain anak-anak sekolah banyak orang datang menghadiri misa itu. Banyak orang yang menyaksikan sandiwara dan lain-lain untuk memeriahkan perayaan itu.

Berhubung dengan adanya ketentuan "Gaya Baru" untuk SMA, maka setiap sekolah harus mempunyai empat jurusan. Oleh sebab itu pada tahun 1962 gedung SMA Bruderan diperluas dan menjadi bangunan yang bertingkat dua. Dalam sekolah ini Br. Aetius memainkan peranan yang penting, tetapi pada tahun 1963 ia harus menghentikan pekerjaannya di sana karena alasan kesehatan dan terpaksa pulang ke negeri Belanda. Meskipun sering ada bermacam-macam kesulitan, namun karya pendidikan di sekolah-sekolah di Purwokerto maju terus, sehingga perlu memperluas gedung lagi. Pada tahun 1978 SMP menambah ruang lagi, dan tahun 1979 SMA juga menambah ruangan sesuai dengan tuntunan inspeksi.

Pada tahun 1985, dibuka TK Karitas di Kejawar yang memakai ruang di SD Karitas. Tetapi pada tahun 1987 telah dibuat gedung bertingkat untuk TK Karitas itu.Semoga, dengan pertolongan Tuhan, usaha para Bruder Karitas dan rekan-rekan kerjanya berkembang dengan baik dan berlimpah-limpah demi Kerajaan Allah serta Nusa dan Bangsa Indonesia.
Di Wonosobo

Sejak tahun 1938 tarekat Suster Putri Maria dan Yosef (PMY) telah mempunyai lembaga anak tuli di Wonosobo. Mereka menerima anak putera maupun puteri, namun harapan mereka supaya didirikan sebuahlembaga khusus untuk anak putera. Maka sebagai tanah untuk lembaga anak putera itu dibeli dua bidang sawah seluas empat Ha di sebelah Barat stasiun Kereta Api Wonosobo.Tatkala lembaga susteran sudah berjalan dengan baik, Suster-suster minta kepada Bruder Karitas untuk mengambil alih pendidikan anak putera. Tawaran itu sebetulnya sangat menarik bagi Bruder Karitas. Memang sedari awal mula tarekat mereka mementingkan pendidikan anak cacat, misalnya anak tuli atau buta. Namun mereka terpaksa menolak: tenaga ahli mereka belum cukup banyak. Sesudah revolusi, para Suster sempat meneruskan pekerjaan mereka dan sekali lagi minta bantuan Bruder Karitas. Tahun 1953 tawaran itu diterima, lantas dimulai dengan pemiisahan bagian putra dan putri. Pekarangan disebelah Barat stasiun tersebut disediakan atas kebaikan hati Yayasan "Dena Upakara". Kementrian P dan K memberi sumbangan sebanyak Rp 800.000,- untuk pembangunan sekolah dan Kementrerian sosial menyumbangkan Rp 350.000,- untuk asrama. Tiga Bruder baru datang dari Belanda, yakni Br. Benignus, Br. Theodefridus dan Br. Odoricus, yang bersama Br. Pancratius dan Br. Jan merupakan anggota komunitas pertama di Wonosobo. Pada tanggal 6 Desember 1955 mereka sudah mulai bertempat tinggal di sana, meskipun pembangunan gedung belum selesai, dan belum ada listrik serta air bersih. Pada permulaan jumlah murid 36 orang yang dibagi atas kelas I, III dan IV. Pada tanggal 1 Agustus 1956 sekolah mendapat 12 murid baru dari TK Susteran PMY untuk kelas I. Selanjutnya lembaga setiap tahun mendapat murid dari Susteran itu. Mereka sudah disiapkan untuk mengikuti pelajaran di SD anak tuli. Hal itu berlaku sampai tahun 1972, sesudah itu TK atau kelas 0 diadakan di Bruderan sendiri. Bahkan sejak tahun 1978 ada kelas paralel. Perlu diketahui disini bahwa memang jumlah murid dalam satu kelas harus kecil, karena anak tuli itu memerlukan banyak perhatian secara individu. Pada bulan Desember 1956 dipasang alat pendengaran yang serba lengkap dan modern. Fungsi alat itu untuk membantu anak yang masih mempunyai sisa pendengaran. Pada tahun 1957, setelah 6 ruang kelas dan kantor selesai, dimulai dengan mendirikan beberapa kamar dan ruang rekreasi untuk para bruder serta bengkel kerja seluas 12 x 20 meter persegi di bagian Utara halaman.
Setelah lembaga ditinjau oleh Ny. Kwari dan Sekretaris Jenderal dari Kementerian Sosial, Bruderan mendapat sumbangan sebesar Rp. 150.000,-
Pada tahun 1960, gedung sekolah sudah lengkap terdiri dari 8 ruang sesuai dengan jumlah tahun ajaran sebuah SDLB untuk anak tunarungu. Sayangnya staf guru pada waktu itu kurang stabil. Sering terjadi seorang guru pindah karena merasa kurang berbakat atau kesulitan-kesulitan dalam pendidikan atau karena mau belajar lanjut setelah menerima dasar praktek untuk mengajar anak tunarungu.
Dalam bulan Agustus 1960, 11 orang anak pertama sudah tamat, lalu dibuka Sekolah Kejuruan. Untuk permulaan diadakan jurusan ketrampilan membuat sepatu kulit dan jurusan tenun, masing-masing dikepalai oleh Br. Odoricus dan Br. Jan Emmen. Waktu sore Br. Benignus memberi les pengetahuan umum dan agama di sekolah itu. Dalam tahun berikutnya (1961) ditambah dengan jurusan jahit dibawah pimpinan Br. Ferrerius Subowo.
Sekolah kejuruan itu belum diakui oleh Departemen Pendidikan maka diselenggarakan oleh lembaga sendiri. Pembangunan tambahan gedung terus dirasa perlu, yaitu untuk pengembangan asrama, kamar cuci, tambahan WC/kamar mandi. Juga halaman sebelah selatan diratakan untuk lapangan olahraga.
Tahun 1964, staf guru ditambah dengan seorang ahli artikulasi (pelatih berwicara) yang baru datang dari negeri Belanda, yakni Br. Petrus Hendriks. Dalam tahun 1968, pembangunan gedung sekolah kejuruan beserta asrama dapat diselesaikan berkat bantuan Yayasan Miserior. Pada tahun itu juga dimulai jurusan listrik di sekolah itu, sedangkan jurusan tenun ditutup pada tahun 1970, dan jurusan sepatu ditutup pada tahun 1972, dengan memperhatikan perkembangan ekonomi di Indonesia. Sejak 1970 juga ada bagian jurusan mesin dan las.
Pada tahun 1972, diajukan permohonan kepada inspeksi Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengubah nama SD Luar Biasa menjadi Sekolah Luar Biasa bagian B (SLB/B). B artinya khusus untuk anak tunarungu. SLB/B itu meliputi kelas pra-sekolah, SD dan Sekolah Kejuruan. Permohonan itu dikabulkan.
Selama 2 tahun (1973 dan 1974) guru-guru yang belum berijazah Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa mengikuti kursus di Sekolah Pendidikan Guru Luar Biasa yang baru didirikan di Wonosobo sebagai cabang dari SGPLB di Solo. Semuanya lulus.
Kira-kira pada waktu itu juga beberapa guru (baik Bruder maupun awam) diminta oleh pusat P dan K, subdirektorat Pendidikan Luar Biasa untuk mengikuti rapat kerja yang menyusun kurikulum dan buku-buku untuk murid dan guru SLB/B di Indonesia.
Dalam tahun 1973 diresmikan aula “Gelora Don Bosco” yang merupakan bangsal untuk olahraga yang diperlengkapi dengan fasilitas yang memadai. Sedangkan dalam tahun 1977-1978 dibuatlah jalan aspal untuk mengganti jalan buruk yang menghubungkan lembaga dengan jalan umum.
Lembaga untuk anak tunarungu ini memang sering menarik perhtian orang sehingga sering dikunjungi oleh pemuka masyarakat. Antara lain pada tanggal 16 September 1968 dikunjungi oleh Ibu Jenderal A.H. Nasution, isteri Menhankam pada waktu itu, bahkan pada tahun 1972, Presiden dengan isteri pada waktu mengunjungi daerah Wonosobo, juga datang ke lembaga tunarungu itu dan disambut oleh warga lembaga tunarungu baik dari lembaga Bruderan maupun Susteran untuk beramah-tamah.
Boleh disebut di sini juga adanya PT. Cemerlang. Permulaannya hanyalah kegiatan pelayanan teknik yang dipimpin oleh Br. Jos Leemrijse untuk memelihara gedung, listrik (juga mesin diesel), alat-alat Bantu pendengaran dan sebagainya. Lama kelamaan, Bruder itu dengan pegawainya juga menerima pekerjaan untuk biara dan lembaga lain, sehingga berkembang menjadi perusahaan yang besar dengan kurang lebih 300 pekerja (tetap dan tidak tetap) yang menangani proyek di beberapa kota lain, misalnya memasang instalasi listrik dan pipa air, atau mengebor sumur. Di samping memberi kesempatan kerja, PT Cemerlang juga memberi pendidikan teknis kepada para pekerja dalam lapangan yang diurus oleh perusahaan itu. PT Cemerlang berjalan cukup lama, dan karena keadaan yang berkembang pada tahun 1984 perusahaan itu dialihkan kepada fihak lain.

Anggota terpilih Kapitel Provinsi Bruder Karitas Indonesia di Wonosobo 1987 berfoto bersama setelah selesai berkapitel.


Di Nandan – Yogyakarta

Menjelang tahun 1960, makin banyak pemuda masuk novisiat Bruder Karitas. Dengan demikian ada harapan bahwa para Bruder Indonesia lama-kelamaan akan dapat mengambil alih seluruh kepemimpinan Bruder Karitas di Indonesia, baik pimpinan tarekat maupun pimpinan lembaga dan sekolah. Namun untuk itu mereka perlu mendapat kesempatan mengikuti studi di Perguruan Tinggi dulu. Dari sebab itu timbul rencana untuk mendirikan sebuah Bruderan di dekat kota Yogyakarta sebagai wisma bagi Bruder-bruder yang akan belajar di situ.
Mgr. Soegiopranata, Uskup Agung Semarang, segera menyetujui rencana itu. Beliau menganjurkan pula agar mencari suatu tempat di bagian Tenggara kota Yogyakarta dan juga membuka sekolah di sana. Maka tahun 1961, di daerah sekitar Yogyakarta dicari suatu pekarangan yang sesuai dengan maksud-maksud tadi, tetapi usaha itu kurang berhasil. Akhirnya dapat dibeli sebidang tanah pada perbatasan antara dusun Gemawang dan Nandan, kira-kira 4 Km sebelah Utara Tugu Yogya (jalan dari Yogya menuju Turi). Luasnya sekitar 4 Hektar.
Mengenai keadaan ekonomi kedua desa itu termasuk daerah minus. Tanahnya kersang, tiada irigasi pertanian, sehingga hampir tiada persawahan, yang ada hanyalah ladang-ladang dengan tanah yang kurang subur (berpasir). Penduduknya waktu itu umumnya mencari nafkah sebagai tukang, kuli atau dengan pekerjaan sederhana lainnya. Maka pekerjaan Bruder Karitas akan sesuai dengan harapan Mgr. Soegiopranata untuk membantu rakyat kecil.

 Br. Gabinus FC
Pimpinan Bruder Karitas di Indonesia yang merintis Karya dan Biara Bruder Karitas di Nandan

Realisasi semua itu dimulai dengan persiapan administrasi pendirian SD di Nandan pada tahun 1962. Pimpinan perintisan Bruder Karitas di Nandan, yaitu Br. Gabinus, dalam hal urusan operasional pendirian SD dibantu oleh seorang guru muda bernama Suratman (yang kemudian menjadi Bruder Karitas dengan nama Br. Ignatius Suratman). Setelah urusan administrasi izin pendirian SD selesai, langkah berikut didatangkan 2 orang guru untuk memulai mengajar pada SD yang belum mempunyai gedung sekolah itu. Operasional sekolah dimulai pada tanggal 1 September 1963 di rumah penduduk, yakni di rumah Bapak Pawiro Suwignyo (letaknya sekarang di sebelah Timur gedung SD Karitas).

 Gedung SD Karitas Nandan (difoto tahun 2005)

Awal 1963 dimulai dengan mendirikan gedung sekolah lengkap dengan aulanya. Bagian Timur gedung itu digunakan untuk SD dan bagian Barat sebagai tempat tinggal para Bruder untuk sementara waktu. Setelah gedung SD Karitas digunakan, muridnya berjumlah 30 orang yang dibagi atas tiga kelas. Maklum sekolah misi di daerah Nandan masih dirasa agak asing. Untuk menjamin supaya SD akan mendapat cukup banyak murid, kemudian dibuka TK Karitas dan sebagai Kepala Sekolah sekaligus gurunya adalah Ibu Tumini. Selain itu, Br. Ignatius yang telah kembali dan sebagai Bruder muda, giat mencari murid dengan berjalan-jalan di desa-desa sekitar Sekolah Karitas dengan membawa bola. Bila berjumpa dengan anak-anak, Bruder mengajak anak-anak untuk bermain bola. Dengan demikian terjadi pendekatan yang baik dengan anak-anak dan masyarakat, sehingga semakin banyak anak-anak yang mau bersekolah di Sekolah Karitas. Bukan hanya itu, bruder-bruder secara periodik mengadakan pemutaran film yang dipinjam dari Konsulat-konsulat yang ada di Yogyakarta. Anak-anak dan masyarakat sekitar diundang untuk menontonnya.

 Br. Ignatius Suratman FC
Berjasa dalam mengembangkan persekolah Bruder Karitas di Nandan

Demi kepentingan masyarakat Nandan dan sekitarnya, Bruder Karitas membangun sebuah jembatan di atas kali Buntung pada tahun 1963, sehingga terhubungkan jalan bagi orang-orang desa yang terpisahkan oleh sungai yang cukup dalam itu. Jembatan itu pada waktu itu dan sampai sekarang menjadi jalan penghubung yang mempersingkat dan mempermudah perjalanan orang-orang dan juga anak-anak sekolah dari daerah 2 sisi sungai itu.


Kepala Sekolah SD Karitas yang pertama adalah Bapak H. Sukarno, yang menjabat hanya setahun, kemudian ia pindah karena diminta membantu Romo untuk merintis sekolah Pertanian di Promasan.. Selanjutnya, diangkat sebagai Kepala Sekolah Bapak Alfonsus Amir.

 Bpk. Alfonsus Amir 

Berkat semangat dan kegiatan para bruder dan para guru SD waktu itu, Bruderan Karitas maju terus dan mendapat penghargaan masyarakat. Menurut rencana, sebagai lanjutan SD akan diadakan juga sebuah sekolah kejuruan. Sebagai persiapan untuk Sekolah Lanjutan, perlu didirikan rumah biara di sebelah Utara gedung sekolah pada tahun 1967. Kapelnya dibuat cukup besar sehingga dapat digunakan untuk Perayaan Ekaristi juga oleh umat di stasi Nandan. Pada tahun 1963 hanya ada tak lebih dari 3 keluarga yang Katolik, tetapi pada tahun 1968 jumlahnya sudah bertambah.

 Bruderan Karitas Nandan dengan kapel bisa menampung 150 umat mengikuti perayaan Ekaristi

Setelah para Bruder pindah ke gedung biara, separuh gedung sekolah kosong sehingga dapat dibuka untuk sekolah kejuruan sesuai rencana semula. Pemuka-pemuka dari stasi Nandan merasa sebuah SLTP lebih sesuai untuk Nandan, maka rencana semula dirubah dan tahun 1968 dimulai dengan menerima murid kelas I SLTP. Para tokoh stasi Nandan yang mengusulkan SLTP itu ternyata konsekuen dengan usulan mereka dan dilaksanakan dalam partisipasi mereka. Bapak Sugiran, Bapak Muhadi, Bapak Parmin, dan kawan-kawan lainnya menjadi guru di SLTP Karitas dengan semangat pengabdian yang tinggi. Itulah kebersamaan Bruder dengan umat stasi dalam perjuangan iman mewujudkan Gereja yang membangun Kerajaan Allah lewat pendidikan anak-anak.
Pada tahun pertama jumlah murid SLTP Karitas berjumlah 13 anak, tetapi setelah empat tahun, anak-anak yang mendaftar sudah sedemikian banyak, sehingga dapat dimulai dengan kelas parallel.
Pada waktu itu Br. Gabinus, selaku perintis Bruder Karitas di Nandan, terpaksa pulang ke Eropa, karena keadaan kesehatannya mulai mengkhawatirkan. Ia diganti oleh Br. Alfonso Wiryotaruno, yang segera berhasil merebut hati orang-orang di Nandan dan sekitarnya. Br. Alfonso sangat berjasa untuk perkembangan stasi yang diberi nama “Kring Karitas Nandan” (itulah sebabnya, panitia pembangunan Gereja, memilih nama pelindung St. Alfonsus, sebuah kemiripan nama untuk mengenang Br. Alfonso).

 Br. Alfons Wiryotaruno FC bersama beberapa umat Nandan tahun 1970

Adapun kegiatan para Bruder di Nandan tidak terbatas pada studi atau pendidikan anak-anak di sekolah saja. Mereka memberi kontribusi (dalam kerjasama dengan umat stasi) di beberapa bidang lain pula, misalnya, menyiapkan katekumen untuk menerima Sakramen Baptis, mengajar agama di desa-desa sekitar Nandan, mengembangkan kelompok-kelompok koor, kepramukaan, penyuluhan gizi untuk ibu-ibu dipedesaan dll.
Karena gedung biara cukup besar, maka mulai tahun 1969 diterima juga Romo-romo dan Bruder-bruder dari tarekat-tarekat lain yang belajar di berbagai Perguruan Tinggi di Yogyakarta untuk tinggal di biara Nandan. Para Romo yang pernah tinggal di Nandan berasal dari tarekat SVD (Flores), tarekat OMI, OCSO, MSC, juga Romo-romo Praja dari Nusa Tenggara Timur. Para Romo itu secara tidak langsung ikut berjasa dalam pemeliharaan rohani para Bruder dan umat stasi. Mereka yang memimpin misa harian dan Misa Minggu selama bertahun-tahun. Para Bruder yang pernah tinggal di Nandan berasal dari tarekat Bruder Budi Mulia, Bruder CSsR, CMM, HHK.
Selanjutnya, pendidikan calon-calon Bruder Karitas yang semula di Purworejo dipindahkan ke Nandan pada tahun 1970. hal itu karena di Yogyakarta, mereka dapat mengikuti kursus gabungan novis di pagi hari dan kursus Kateketik di Akademi Kateketik Katolik Indonesia (STKat) – Puskat Kotabaru yang diadakan pada sore hari.
Tahun 1977, Tarekat Redemptoris (CSsR) dari Sumba mengambil alih sebagian tanah Bruder Karitas untuk mendirikan Wisma Sang Penebus sebagai tempat pendidikan frater-frater calon imam. Sementara pembangunan berlangsung, para frater dan Romo Rektornya menempati sebagian dari Bruderan Karitas selama setahun.
Romo Rektor dari CSsR bukan hanya mengurusi Wisma Sang Penebus, tetapi juga bersedia menjadi Romo Stasi Nandan. Berkat partisipasi keluarga Wisma Sang Penebus (juga keaktifan umat stasi), di tahun 80-an stasi Nandan semakin berkembang lagi, sampai kapel Bruderan Karitas tidak dapat menampung jumlah umat yang mengikuti Perayaan Ekaristi Minggu. Untuk mengatasinya, diadakan 2 kali misa Minggu yaitu Sabtu sore dan Minggu pagi.
Menyadari perkembangan itu, umat stasi bersama Romo Redemptoris dan Bruder Karitas mulai mengadakan pemikiran untuk mendirikan Gereja. Dibentuklah pantia pembangunan Gereja pada tahun 1986. Dibeli oleh panitia tanah milik Tarekat Suster ADM yang ada di Nandan. Tetapi karena sesuatu hal, tak diperoleh izin membangun gereja di tanah itu. Akhirnya, gereja didirikan di tanah milik Bruder Karitas dengan menukarkan tanah yang sudah ada. Bukan hanya itu, sebidang tanah milik Tarekat Bruder Karitas seluas 1000 M persegi ditambahkan untuk pengembangan Gereja, sehingga Gereja Nandan mempunyai tanah yang lumayan luas untuk parkir, untuk pastoran, aula dsb. Akhirnya berhasil didirikan Gereja St. Alfonsus yang diresmikan dan diberkati pada tahun 1996.
Perkembangan sekolah ternyata mengalami pasang surut. Sekolah-sekolah Karitas berkembang pesat dengan jumlah murid yang penuh. Setelah sekolah-sekolah Inpres (Negeri) banyak didirikan di mana-mana, sekolah-sekolah Karitas tidak lagi harus menolak murid. Sekolah-sekolah Karitas itu tetap berlangsung, bahkan pada tahun 2000 dibuka asrama untuk anak-anak putra SLTP. Dan sejak tahun itu pula, partisipasi dan keterlibatan umat Katolik, orangtua murid dan pengurus Dewan Gereja Nandan semakin besar terhadap kelangsungan sekolah Katolik di Nandan. Hal itu merupakan tanda bahwa umat Katolik Nandan tumbuh dalam kesadaran untuk hidup menggereja secara utuh-menyeluruh dalam penghayatan dan pengamalan iman.


Di Grogol - Jakarta

Biara di Grogol dimulai pada tahun 1966 dengan rencana untuk kmengadakan suatu komunitas yang anggotanya beraneka kemampuan: seorang Bruder juru rawat, seorang berkemampuan perkantoran untuk Kantor Wali Gereja (KWI) dan beberapa orang guru agama yang berijazah. Juga pernah ada tawaran untuk mendirikan SD di Jakarta, tetapi tawaran ini tidak diterima.
Selama enam tahun rencana semula diwujudkan. Dua orang Bruder masing-masing mengajar agama kepada kurang lebih 20 kelompok murid di pelbagai sekolah kepunyaan berbagai tarekat lain. Di samping itu, mereka juga memberi pelajaran agama untuk para katekumen yang datang ke biara, dan membantu dalam kegiatan paroki. Tetapi karena tenaga mereka lebih diperlukan di Jawa Tengah, maka rumah di Grogol itu dipakai sebagai “guest-house” dan hanya didiami oleh seorang Bruder saja sebagai penghuni tetap. Meski sendirian, Bruder itu tidak merasa kesepian karena sering ada tamu dari baira lain yang ada keperluan di Jakarta. Bruder itu juga banyak membantu paroki Grogol, antara lain dengan mempersiapkan katekumen yang datang ke biara untuk menerima pelajaran agama.
Selain sebagai “guest-house”, rumah di Grogol juga dipakai oleh beberapa pegawai dari PT “Cemerlang” (lihat: Wonosobo) karena biasanya ada proyek di daerah Jakarta dan sekitarnya. Hal itu berlangsung beberapa tahun lamanya.
Biara ini akhirnya ditutup pada sekitar tahun 1980 dan gedungnya dialihkan kepada LPPS-KWI.

INFORMASI PERKEMBANGAN TERAKHIR

Tahun 1979, karena Br.Benignus sebagai Vice-Provinsial periode itu meninggal dunia, maka pertama kali bruder asal Indonesia ( Br. Gabriel Subiyanto FC) menjadi pejabat Vice-Provinsial untuk meneruskan penyelesaian periode masa jabatan Br. Benignus. Akhir masa jabatan periode itu dilanjutkan dengan terpilihnya Br. Cosmas Sumardi FC sebagai Vice-Provinsial selama 12 tahun. Yang kemudian dilanjutkan oleh Br. Laurentius Harsoparyitno FC (6 tahun) dan sekarang adalah Br. Damianus Wakiman FC menjadi pimpinan Bruder Karitas di Indonesia dengan sebutan Superior Regional karena adanya perubahan organisasi sejak tahun 2000.
Tahun 1987, pertama kali ada Asisten General di Biara Pusat Roma yang berasal dari Indonesia, yaitu Br. Gabriel Subiyanto FC. Dan pada tahun 2000, yang menjadi Asisten General di Roma adalah Br. Adrian Hartotanojo FC, sekaligus merangkap sebagai Sekretaris General.
Tahun 1994, Bruder Karitas Indonesia mengirimkan tenaga Bruder asal Indonesia untuk menjadi misionaris ke Tanzania (Afrika). Br. Marsell Mulargono, Br. Florianus Sugiarto dan Br. Florentinus Eko adalah bruder-bruder misionaris pertama asal Indonesia. Hal ini merupakan kerjasama dengan rekan-rekan Bruder dari Belanda dan Belgia. Yang kemudian disusul oleh beberapa bruder asal Indonesia lainnya, dan sebagian di antara mereka yang dikirim ke Tanzania itu ada yang pulang kembali ke Indonesia setelah bertugas beberapa tahun di sana. Meski demikian bekerjasama dengan para Bruder dari Belgia, misi di Tanzania itu telah membuahkan juga beberapa bruder Karitas baru asal Tanzania.
Sejak tahun 1998, sudah tak ada lagi Bruder Karitas asal Belanda, Br. Petrus Hendriks FC adalah bruder asal Belanda yang terakhir berkarya di Indonesia. Beliau karena kesehatan dan sudah usia pensiun kembali ke Belanda.
Mulai tahun 1999, Kongregasi Bruder Karitas mengadakan program percobaan Postulat dan Novisiat Internasional di Belgia. Semua novis dari berbagai penjuru dunia dididik bersama di Belgia, termasuk novis dari Indonesia. Hal itu berlangsung sampai sekarang. Bahasa pengantar adalah Bahasa Inggris.
Selain pembinaan dengan program Internasionalisasi untuk para postulant tahun kedua dan para novis, para Bruder Muda mulai tahun 2001 juga diberikan pendidikan pembekalan profesionalisasi di Belgia bersama para bruder Karitas dari aneka Negara lain, khususnya program itu bagi para bruder yang mempelajari bidang Pendidikan Anak Cacat dan bidang Perawatan Orang Sakit Jiwa (Psychiatry). Tentunya ini atas bea-siswa yang diusahakan oleh rekan-rekan Bruder Karitas yang ada di belahan bumi Eropa. Tanpa dukungan mereka, semuanya tak dapat dijalankan sendiri oleh para bruder dari Indonesia.
Internasionalisasi Kongregasi Bruder Karitas berarti seorang Bruder Karitas asal Indonesia dapat ditugaskan di Negara lain. Tahun 2001 itu, juga Br. Thomas Praseyo FC ditugaskan untuk berkarya di USA dalam pelayanan bagi orang-orang cacat mental. Dan juga Br. Gabriel Subiyanto FC ditugasi untuk menjadi misionaris di Vietnam. Misi di Vietnam ini juga telah membuahkan beberapa Novis asal Vietnam. Br. Gabriel selama masa bertugas sebagai Asisten General mendapat tugas merintis pengembangan Bruder Karitas di Pakistan dan India bekerjasama dengan para bruder asal Belgia dan Philipina.

Bruder Karitas Indonesia pada tahun 2005 memulai berkarya untuk orang sakit jiwa kronis. Untuk itu dibuka Panti Sahabat Kita di Purworejo untuk mendampingi para pasien. Dan juga karya untuk para korban narkoba. Untuk itu dibuka Rehabilitasi KUNCI di Nandan Yogyakarta.

Rehabilitasi KUNCI - Nandan - merehabilitasi korban narkoba

Tahun 2006, Br. Adrian, Bruder asal Indonesia terpilih sebagai Vicaris General / wakil pemimpin umum Kongregasi Bruder Karitas yang berpusat di Roma. Dan ia juga mendapat tugas sebagai Misionaris di RRC untuk memungkinkan kehadiran Rasul-rasul Karitas di sana.