Bolehkah Saya Memanggil Anda Bruder?
Bruder-bruder Religius Masa Kini
TEOLOGI PANGGILAN BRUDER RELIGIUS DALAM GEREJA KATOLIK
Judul asli:
May I Call You Brother



Teologi panggilan bruder religius dalam Gereja Katolik

Oleh: Br. René Stockman FC, PhD
(c) Hak Cipta tulisan ini ada pada Br. Rene Stockman FC
Silahkan membaca sepuasnya. Dilarang mengcopy, mencetak dan menyebar luaskan dalam bentuk teks.
Bila Anda mau memasang link dari blog ini dipersilahkan

Penterjemah: Br. Patrisius FC

 


Kata Pengantar

Pada suatu kunjungan ke Kamboja saya berbicara dengan seorang psikiater muda. Pembicaraan itu lebih bersifat teknis mengenai cara-cara perawatan para pasien sakit jiwa yang diorganisir setelah masa kekuasaan Khmer Merah. Pada akhir pembicaraan kami, laki-laki itu, yang mengetahui siapa saya, bertanya kepada saya: “Bolehkah saya memanggil Anda Bruder (saudara laki-laki. Red)?” . Tentu saja jawaban saya adalah “ya”, tetapi saya tidak sanggup menahan diri untuk menanyakan mengapa hal itu penting sekali baginya. Ia menjelaskan bahwa kedua saudara laki-lakinya telah dibunuh pada masa rezim Pol Pot. Ia sangat gembira dapat menyapa seseorang sebagai Bruder untuk mengenang saudaranya sendiri yang hilang. “Bolehkah saya memanggil Anda Bruder?”. Pertanyaan itu telah melekat dalam pikiran saya sejak saat itu.
Sejak saat itu, saya seringkali diminta untuk menjelaskan siapakah Bruder itu. “Jadi Anda tidak dapat mempersembahkan misa?” adalah pertanyaan yang sering saya dengar pada akhir penjelasan saya. Panggilan yang terburuk yang pernah saya dengar adalah “pembantu para Rama”. Pada suatu hari, beberapa anggota komunitas saya, termasuk saya, mengikuti ziarah ke Fatima. Di dalam bus yang akan membawa kami dari bandara menuju ke hotel, pemandu wisata, seorang Rama, hendak membuat beberapa kesepakatan. “Diantara kelompok kami ada beberapa Bruder. Mereka adalah pembantu para Rama dan besok mereka akan bertugas sebagai putra altar.” Tanpa sanggup menahan amarah, saya menghampiri Rama tersebut, meskipun saya sadar bahwa amarah bukanlah perasaan terbaik untuk memulai ziarah. “Saya hanya bercanda,” katanya. Meskipun demikian ia menghampiri saya untuk meminta maaf beberapa waktu setelah itu.
Ketika saya menemui Rama paroki kami untuk memberitahukan niat saya untuk menjadi bruder religius secara spontan ia bertanya mengapa saya tidak ingin menjadi Rama. Saya bukanlah orang bodoh, saya tidak akan menghadapi kesulitan terlalu banyak di seminari. Saya juga mengetahui itu, tetapi saya menyayangkan bahwa dalam lingkungan tertentu, bahkan pada masa itu, panggilan bruder dianggap hanya cocok bagi pemuda yang tidak cukup pandai untuk menjadi Rama.
Di Sri Lanka, anggota seminari dipanggil “bruder”. Oleh sebab itu para bruder religius cukup sering ditanya kapan mereka akan ditahbiskan sebagai Rama. Bahkan Gereja pun membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menemukan nama yang tepat untuk kelompok religius ini. Dalam rangka membuat pembedaan yang jelas dengan Tarekat klerik, Kongregasi bruder disebut sebagai Tarekat awam sampai pada saat Sinode hidup bakti menjelaskan masalah tersebut dalam suatu bab khusus mengenai bruder religius.
Setelah memasuki abad ke-XXI, saya ingin lebih menjelaskan pada kelompok umat yang membaktikan diri pada Gereja. Sudah saatnya kami berhenti menjelaskan siapakah kita bukan dan dengan sangat jelas mengakui identitas kita. Setelah identitas kita jelas bagi kita sendiri, kita akan dapat membangun suatu profil jelas bagi diri kita sendiri, dan menjelaskan bahwa kita memiliki suatu panggilan dan karya misi yang unik dalam Gereja dan di dunia. Mudah-mudahan, orang lain juga akan dapat lebih mengerti mengenai apa yang kita lambangkan, baik dalam Gereja dan dunia. Karena berdasarkan keunikan kitalah maka kita ingin menjalankan karya dan misi kita pada abad ke-21.



Br. René Stockman FC,
Superior General Bruder Karitas


Situasi Panggilan Bruder Dalam Gereja

Jika kita ingin menempatkan panggilan Bruder dalam Gereja di zaman sekarang ini, kita harus merujuk pada Konstitusi-konstitusi dan Dekrit-dekrit Konsili Vatikan Kedua, dan secara lebih khusus pada Konstitusi Dogmatik tentang Gereja "Lumen Gentium" (LG), mendapat tempat penting lantaran mendefinisikan kembali tentang umat Allah. Dahulu, hirarki Gereja mendapat urutan pertama dan para awam dianggap orang Kristiani urutan kedua. Religius mendapat tempat kira-kira di antara keduanya (bdk. Paus Pius XII dalam “Provida Mater Ecclesia”: religius sebagai penengah antara hirarki dan awam). Namun, Konsili mengatakan bahwa umat Allah adalah mereka yang berpartisipasi dalam tugas imamat  Kristus.

Umat Allah

Lumen Gentium hal ini jelas: “Semua orang dipanggil kepada Umat Allah yang baru” (LG no. 13).

 “Jadi bagi semua jelaslah, bahwa semua orang Kristiani, bagaimanapun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cinta kasih. Dengan kesucian itu juga dalam masyarakat di dunia ini cara hidup menjadi lebih manusiawi” (LG, no. 40).
“Jadi semua orang beriman kristiani dalam kondisi-kondisi hidup mereka, dalam tugas-tugas serta keadaan mereka, dan melalui itu semua, dari hari ke hari akan makin dikuduskan, bila mereka dalam iman menerima segala-sesuatu dari tangan Bapa di surga, dan bekerja sama dengan kehendak ilahi, dengan menampakkan dalam tugas sehari-hari kepada semua orang cinta kasih Allah terhadap dunia” (LG, no.41).
“Akhirnya semua orang beriman kristiani diajak dan memang wajib mengejar kesucian dan kesempurnaan status hidup mereka. Oleh karena itu hendaklah semua memperhatikan, agar mereka mengarahkan keinginan-keinginan hati dengan tepat (LG, no. 42).”
Kutipan-kutipan di atas menentukan arah tujuan. Inti pesan yang ingin disampaikan  yaitu bahwa semua umat beriman terpanggil untuk menjalani hidup suci. Konsili ingin menegaskan bahwa gagasan yang telah dikemukakan oleh St. Fransiskus dari Sales dalam tulisannya berjudul “Pengantar Kehidup Saleh” yang diterbitkan pada tahun 1608. Semua umat beriman diharapkan untuk menjadi semakin suci setiap harinya, bukan hanya para Imam dan para religius, tetapi para ibu rumah tangga, tentara, petani dll.
“Waktu Tuhan menciptakan dunia Dia memerintahkan tiap pohon untuk menghasilkan buah menurut jenisnya; sejalan dengan itu Dia meminta umat Kristiani, -pohon hidup dari Gereja-Nya-, untuk menghasilkan buah-buah pengabdian, masing-masing sesuai dengan jenis dan karyanya. Pengejawantahan yang berbeda dari pengabdian diperlukan dari setiap orang -kaum bangsawan, para ahli, hamba, pangeran, gadis dan istri; lebih dari itu pengejawantahan tersebut harus disesuaikan dengan kekuatan, panggilan, dan kewajiban dari tiap individu. […] Adalah keliru, bahkan lebih dari itu, sangat bidaah, bila mengesampingkan kehidupan beriman dari barak tentara, para pekerja bengkel, ruang istana, atau rumah tangga. Tentu saja kehidupan kontemplatif kesalehan yang murni, seperti kelompok religius dan membiara, tidak dapat diterapkan dalam lingkungan dan karya seperti itu, tetapi ada berbagai jenis pengabdian lain yang dapat mengarahkan mereka yang panggilan hidupnya bersifat sekuler kearah kesempurnaan […] Pastikanlah agar dimanapun panggilan hidup kita dapat dan harus menuju kepada hidup saleh yang sempurna” (Pengantar Kehidup Saleh, bab III).


Berdasarkan hal itu maka kita harus mempertimbangkan “tingkat dan status” daripada umat Kristen seperti tertera dalam LG no. 40. Orang seringkali merancukan konsep-konsep tersebut yang berakibat salah tafsir mengenai posisi Bruder religius. “Lumen Gentium” memaparkan dua tingkatan: awam dan imam. Disamping itu ada pembedaan antara tiga status dalam kehidupan: awam, imam, dan religius.
Kesulitan timbul setiap kali pertanyaan disampaikan mengenai “tingkatan” religius.
“Ditinjau dari sudut susunan ilahi dan hirarkis Gereja, status religius itu bukan jalan tengah antara perihidup para imam dan kaum awam. Tetapi dari kedua golongan itu ada sejumlah orang beriman kristiani, yang dipanggil oleh Allah untuk menerima kurnia istimewa dalam kehidupan Gereja, dan dengan cara masing-masing menyumbangkan jasa mereka bagi misi keselamatan Gereja” (LG, no. 43).
Sudut pandang ini juga dipertegas oleh Kitab Hukum Kanonik (KHK): “Status hidup bakti, dari hakikatnya sendiri, bukan- lah klerikal atau laikal” (KHK. Pasal 558 § 1). Meskipun KHK mempertegas bahwa hidup bakti bukanlah imamat maupun awam, tidak ada penjelasan atau definisi selanjutnya.
Justru sebaliknya yang ada adalah pembedaan antara Tarekat imamat di satu pihak dan Tarekat awam di pihak lainnya: “Tarekat klerikal ialah tarekat yang atas dasar tujuan atau cita- cita yang dimaksud oleh pendiri atau atas dasar tradisi yang legitim, berada di bawah pimpinan klerikus, menerima pelaksanaan tahbisan suci, dan oleh otoritas Gereja diakui sebagai klerikal.” (KHK. Pasal 558 § 2).
Sedangkan tarekat laikal adalah tarekat yang oleh otoritas Gereja diakui sebagai laikal, berdasarkan hakikat, sifat khas serta tujuannya memiliki tugas khusus yang ditetapkan oleh pendiri serta tradisi yang legitim, tanpa mencakup pelaksanaan tahbisan suci” (KHK. Pasal 558 § 3).
Yang menarik dalam hal ini adalah meskipun kata “laikal” tidak disebutkan dalam konteks tarekat laikal dan hanya ada referensi terhadap tidak adanya penerapan dan menjalankan perintah kudus. Sebelum melihat lebih mendalami tentang hal ini, kami ingin menguraikan definisi dari ketiga status -seperti dimuat dalam dokumen-dokumen Konsili. Dokumen-dokumen tersebut memberi suatu interpretasi panggilan untuk hidup dalam kekudusan dari kaum awam, imam dan religius.
“Berdasarkan panggilan mereka yang khas, kaum awam wajib mencari kerajaan Allah, dengan mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah. Mereka hidup dalam dunia, artinya: menjalankan segala macam tugas dan pekerjaan duniawi, dan berada ditengah kenyataan biasa hidup berkeluarga dan sosial. Hidup mereka kurang lebih terjalin dengan itu semua. Di situlah mereka dipanggil oleh Allah, untuk menunaikan tugas mereka sendiri dengan dijiwai semangat Injil, dan dengan demikian ibarat ragi membawa sumbangan mereka demi pengudusan dunia bagaikan dari dalam. Begitulah mereka memancarkan iman, harapan dan cinta kasih terutama dengan kesaksian hidup mereka, serta menampakkan Kristus kepada sesama. Jadi tugas mereka yang istimewa yakni: menyinari dan mengatur semua hal-hal fana, yang erat-erat melibatkan mereka, sedemikian rupa, sehingga itu semua selalu terlaksana dan berkembang menurut kehendak Kristus, demi kemuliaan Sang Pencipta dan Penebus” (LG, no. 31)
Hal ini merupakan definisi yang jelas dan inspiratif yang dapat mendorong kaum awam untuk berusaha mencapai kesucian dalam kehidupan sehari-hari dan dalam profesi mereka masing-masing. Ada beberapa kemiripan antara definisi kaum awam religius yang bekerja sama dengan kaum awam di lapangan. Mereka juga terpanggil untuk menjadi ragi. Kesamaan-kesamaan antara misi kaum awam dan biarawan ini diperjelas secara menarik dalam suatu publikasi dari Komisi Superior Jenderal mengenai Tarekat Religius Awam berjudul “Para Bruder Dalam Tarekat Religius Awam” (1991)
“Kerja profesional yang dikerjakan secara serius membawa para Bruder ke dalam “kota dunia” dan menuntut mereka kompetensi, persamaan akan tanggung jawab, dedikasi dan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku didalamnya, sama halnya dengan kaum awam pada umumnya. Kita berbicara mengenai keberadaan Gereja dalam dunia sekarang ini, termasuk kedekatan dan solidaritas yang nyata antara kaum religius dan awam yang keduanya memiliki tujuan sama yaitu: “berdirinya Kerajaan Allah” meskipun mereka menghidupinya dengan dua bentuk panggilan yang berbeda dan dengan demikian memiliki titik tolak yang berbeda.
Bruder menghidupi dedikasi religiusnya dan imamat umum berdasarkan dedikasinya sebagai anggota kelompok religius, dan berdasarkan karisma Tarekatnya; kaum awam menunjukkan hakekat keunikan keawaman mereka dengan mendapatkan kedudukan di dunia. Kesaksian kaum awam mengingatkan Bruder bahwa dedikasi religiusnya harus membuatnya memperhatikan keselamatan umat manusia maupun kemajuan dunia seperti yang diinginkan oleh Tuhan dan berpegang pada Kristus. Kesaksian para Bruder mengingatkan kaum awam bahwa penyelamatan dunia bukan hanya karya manusiawi, bahwa kemajuan bukanlah tujuan dalam sendirinya dan pembangunan kota dunia harus selalu berawal dari Tuhan.”
Posisi profesi imam juga dijelaskan secara lugas dalam “Lumen Gentium” sebagai suatu tugas kesanggupan melayani.
“Untuk menggembalakan dan senantiasa mengembangkan umat Allah, Kristus Tuhan mengadakan dalam Gereja-Nya aneka pelayanan, yang tujuannya kesejahteraan seluruh Tubuh. Sebab para pelayan, yang mempunyai kekuasaan kudus, melayani saudara-saudara mereka, supaya semua yang termasuk Umat Allah, dan karena itu mempunyai martabat kristiani sejati, dengan bebas dan teratur bekerja sama untuk mencapai tujuan tadi, dan dengan demikian mencapai keselamatan.” (LG, no. 18). Demikianlah pelayanan gerejani yang di tetapkan oleh Allah dijalankan dalam berbagai pangkat oleh mereka, yang sejak kuno di sebut Uskup, Iman dan Diakon. Para imam tidak menerima puncak imamat, dan dalam melaksanakan kuasa mereka tergantung dari para Uskup. Namun mereka sama-sama imam seperti para Uskup, dan berdasarkan sakramen Tahbisan mereka ditahbiskan menurut citra Kristus, Imam Agung yang abadi (lih. Ibr 5:1-10; 7:24; 9:11-28), untuk mewartakan Injil serta menggembalakan umat beriman, dan untuk merayakan ibadat ilahi, sebagai imam sejati Perjanjian Baru” (LG, no. 28)
Akhirnya, religius didefinisikan dalam “Lumen Gentium” sebagai umat yang menjawab panggilan untuk menjalani hidup suci, hal ini merupakan kekhasan umat Kristen, dan yang menyebabkan radikal Rahmat babtisan yang diterima oleh setiap orang Kristen.
“Karena babtis ia telah mati bagi dosa dan dikuduskan kepada Allah. Tetapi supaya dapat memperoleh buah-buah rahmat babtis yang lebih melimpah, ia menghendaki untuk dengan mengikrarkan nasehat-nasehat Injil dalam Gereja dibebaskan dari rintangan-rintangan, yang mungkin menjauhkannya dari cinta kasih yang berkobar dan dari kesempurnaan bakti kepada Allah, dan secara lebih erat ia disucikan untuk mengabdi Allah” (LG, no. 44).
Dekrit “Perfectae Caritatis” lebih memperjelas lagi mengenai identitas religius. Dokumen ini didasarkan atas anggapan bahwa baik kaum awam maupun imam dapat merasa terpanggil untuk memilih hidup religius sebagai jalan hidup. Hal ini menerangkan sudut pandang tentang hidup religius, bersamaan dengan itu, memberi suatu perspektif lain untuk mempelajari hidup religius. Bertolak belakang dengan ini adalah pembedaan tradisional Tarekat kontemplatif dan apostolik dan antara Tarekat imam dan awam, seperti tertera baik dalam “Perfectae caritatis” (PC, no. 7 dan 8) dan Kitab Hukum Kanonik (KHK pasal 586).
Bagi para Bruder religius, nomor 10 sangatlah penting: “Hidup religius yang beranggotakan awam, untuk pria maupun wanita, merupakan status pengalaman nasehat-nasehat Injil yang sudah lengkap. Maka Konsili suci sangat menghargainya, karena begitu berjasa bagi tugas pastoral Gereja melalui pendidikan kaum muda, perawatan orang-orang sakit dan pelayanan-pelayanan lainnya. Konsili meneguhkan para anggotanya dalam panggilan mereka, serta mendorong mereka untuk menyesuaikan hidup mereka dengan tuntutan-tuntutan zaman sekarang.” (PC, no. 10).
Sehubungan dengan intinya, kita harus mengacu kepada nomor yang terdahulu yang mana dijelaskan dalam misi Kongregasi Apostolik. (Tarekat imam dan juga hakikat awam.).
“Dalam Gereja terdapat banyak sekali tarekat, yang beranggotakan imam-imam atau awam melulu, dan membaktikan diri dalam pelbagai karya kerasulan. Menurut rahmat yang diberikan kepada mereka, tarekat-tarekat itu dianugerahi kurnia yang bermacam-ragam: jika itu kurnia pengabdian, mereka melayani; bila kurnia ajaran, mereka mengajar; jika kurnia untuk menasehati, mereka memberi nasehat; siapa yang memberi, melakukannya dengan iklas; barang siapa mengamalkan belas kasihan, menjalankannya dengan gembira (lih. Rom 12:5-8). Memang “ada beraneka-macam kurnia, tetapi hanya satu Roh” (1Kor 12:4). Dalam terakat-tarekat itu hendaknya dengan hidup religius sendiri mencakup kegiatan merasul dan beramal kasih, sebagai pelayan suci dan karya cinta-kasih khusus, yang oleh Gereja di percayakan kepada mereka, dan harus dilaksanakan atas nama Gereja. Oleh karena itu seluruh hidup religius para anggota diresapi semangat merasul, sedangkan segenap kegiatan merasul dijiwai oleh semangat religius. Maka supaya para anggota terutama menanggapi panggilan mereka untuk mengikuti Kristus, dan melayani Kristus sendiri dalam para anggota-Nya, kegiatan mereka merasul harus memancar dari harus memancar dari persatuan mesra dengan-Nya, kegiatan mereka merasul harus memancar dari persatuan mesra dengan-Nya. Demikianlah didukung perkembangan cinta kasih sendiri akan Allah dan akan sesama” (PC, no.8).
Dalam dokumen Konsili, Bruder religius yang tampil sebagai pribadi yang adalah milik umat Allah dan, seperti semua orang lain, terpanggil untuk menjalani hidup suci.
Dia berasal dari umat, dari antara kelompok umat awam, dan telah memilih untuk hidup suci sebagai religius. Dia akan menjalankan ini melalui profesi nasihat Injil merupakan penjelmaan dari Rahmat babtisan.
Atas dasar devosi yang tulus terhadap Allah, ia akan memasuki dunia, dimana ia akan dibantu oleh para awam untuk melayani Kristus di tengah umat-Nya. (bdk.  1. Kor. 6, 15).


Perkembangan Pemikiran Mengenai Bruder Religius

Pada tahun 1971, Paus Paulus VI mengumumkan sebuah nasihat apostolik yang berjudul “Evangelica testificatio”. Itu berhubungan dengan inovasi hidup religius sesuai dengan pedoman Konsili Vatikan Kedua. Sekali lagi, hidup religius dalam dokumen tersebut dijelaskan sebagai suatu pengalaman radikal akan Rahmat babtisan melalui profesi nasihat Injil. Meskipun ada beberapa unsur yang ditambahkan, tidak ada satu pun yang disinggung mengenai Bruder religius. Tetapi tujuan dari dokumen tersebut jelas: inovasi yang sesungguhnya harus dimulai dari dalam dan harus lebih dari sekedar adaptasi dari beberapa adat istiadat dan kebiasaan.
Dokumen berikut diterbitkan pada tahun 1983 oleh Kongregasi Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Apostolik. Dari judul tersebut sudah jelas: “Unsur-unsur Pokok Dalam Ajaran Gereja Mengenai hidup Religius”. Tahun berikutnya, Paus Yohanes Paulus II mengumumkan sebuah nasihat apostolik yang berjudul “Redemptoris donum” dalam rangka Tahun Penebusan. Hidup religius dipelajari dari sudut pandang meneladan Kristus dan undangan untuk menjadi sempurna. Dalam dokumen ini, Bapa Paus menyatakan apresiasinya yang besar tinggi beliau terhadap para religius yang menjadi saksi kasih Allah melalui karya kerasulan khusus mereka.
Tiga dokumen tersebut membangun pada pandangan yang berkembang selama Vatikan II dan mencoba untuk menyarankan cara-cara dimana pandangan-pandangan ini benar-benar dapat berakar dan tumbuh dalam kehidupan. Namun, dokumen-dokumen tersebut tidak memuat berisi sesuatu yang luar biasa mengenai Bruder Religius.
Pada tahun 1991, Perhimpunan Superior Jendral atas inisiatif Komisi Superior Jendral untuk Tarekat Religius Awam menerbitkan dokumen dengan judul “Para Bruder Dalam Tarekat Religius Awam”. Untuk pertama kali, sebuah usaha dilakukan untuk memperjelas identitas
Bruder religius.
Dokumen tersebut memuat sudut pandang jelas yang dirumuskan pada akhir dokumen: “Meskipun para Bruder menjalani hidup religius secara terus menerus dan meskipun cara hidup mereka merupakan perwujudan dari nasihat Injil, namun demikian, mereka termasuk dalam kelompok kaum awam, meskipun pada kenyataannya mereka menjalankan hidup mereka berbeda dengan kaum awam biasa. Bila diamati status awam mereka, mereka adalah orang yang membaktikan diri yang terpilih dan terpanggil untuk mengikuti Yesus dan diharapkan untuk menjadi teladan bagi dunia.” Kemudian pernyataan ini disanggah oleh beberapa penulis yang mengacu kepada “Lumen Gentium” dimana pembedaan yang jelas dibuat bagi ketiga keberadaan hidup; awam, imam dan religius. Definisi kaum awam dalam dokumen sebelumnya tidak dapat direkonsiliasikan pula dengan kaum religius. Akan tetapi, dokumen ini mewakili usaha yang layak dalam rangka merenungkan lebih dalam mengenai identitas Bruder religius.
Dalam nasihat apostolik pasca sinode “Christefidelis Laici” (CL), Paus Yohanes Paulus II juga memberi perhatian terhadap cara hidup yang lain dan pada kenyataanya bahwa cara hidup yang beraneka ragam itu saling terkait satu dengan yang lainnya.
“Dalam Komunitas Gereja keberadaan hidup yang diperintahkan saling terkait satu dengan yang lain. Mereka berbagi dalam satu pengertian dasar: yakni cara menjalani hidup berdasarkan martabat Kristiani bersama dan panggilan umum pada kesucian dalam kempurnaan kasih. Mereka berbeda namun saling melengkapi, dalam arti bahwa masing-masing memiliki karakter dasar dan jelas yang menetapkan masing-masing terpisah, sementara pada saat yang sama masing-masing terlihat dalam hubungannya dengan yang lain dan ditempatkan di masing-masing karya pelayanan.
Maka keberadaan hidup awam memiliki keistimewaan dalam sifat sekulernya. Ia memenuhi pelayanan Gerejani serta memberi kesaksian serta dengan caranya sendiri mengingatkan bagi para imam, pria dan wanita religius pentingnya realita duniawi dalam rencana penyelamatan Allah. Pada gilirannya, imamat jabatan mewakili dalam berbagai waktu dan tempat, jaminan permanen sakramental kehadiran Kristus, Sang Penebus. Keberadaan religius memberi kesaksian eskatologi Gereja, yakni usaha menuju Kerajaan Allah yang telah dinanti-nantikan dan telah diramalkan kedatangannya dan dialami sekarang juga melalui kemurnian, kemiskinan dan ketaatan” (CL, no. 55).
Dokumen ini juga memperjelas keberadaan kehidupan di mana kaum awam mempertahankan status keawaman mereka:
“Keberagaman Gereja lebih jauh tercermin dari masing-masing dalam hidup. Maka dalam hidup awam bermacam ‘panggilan’ terdapat, dalam arti banyak cara dalam hidup rohani dan apostolik yang dipilih anggota kaum awam beriman. Dalam bidang karya awam yang ‘diminati bersama’ panggilan awam ‘yang khusus’ berkembang subur. Dalam bidang ini kita juga dapat mengingat pengalaman rohani dari berkembangnya berbagai bentuk Tarekat sekuler yang timbul akhir-akhir ini di Gereja. Karya-karya ini memberi kesempatan kaum awam beriman, dan bahkan imam kemungkinan untuk menerapka nasihat Injil dalam hal kemiskinan, kemurnian dan ketaatan melalui kaul atau janji, sambil mempertahankan keberadaan awam atau imamat mereka sepenuhnya. Dalam hal ini para Bapa Sinode berkomentar, ‘Roh Kudus menunjukkan bentuk-bentuk lain penyerahan diri dimana orang yang sepenuhnya tetap berada dalam status awam mengabdikan diri mereka’” (CL, no. 56).
Sudah jelas di sini tidak ada pembahasan mengenai Bruder religius, tetapi tentu saja membahas mengenai mereka yang bergabung dalam Tarekat sekuler. Hanya dalam hidup bakti kaum awam tetap awam dalam arti kata yang sesungguhnya.
Dalam Sinode para Uskup mengenai hidup religius di tahun 1994 penerangan baru diberikan mengenai identitas para Bruder religius. Dalam no. 32 “Instrumentum laboris” (IL), para uskup menuntut perhatian bagi “Tarekat Religus awam dan para Bruder awam”.
“Perhatian khusus diberikan kepada panggilan dan misi dari para Bruder awam dalam Tarekat sekuler, imamat dan Tarekat-tarekat dimana kedua jalan hidup dilaksanakan.Orang sering mengabaikan bahwa hidup bakti, pada intinya bukanlah klerikal maupun awam, atau seperti halnya di Timur pada masa lalu dan bahkan sekarang juga pada awalnya berasal sebagian besar dari kaum awam. Akibat dari itu adalah pandangan bahwa panggilan Bruder dipandang sebagai tidak lengkap karena tidak adanya status imamat” (IL, no. 32).
Sinode diminta untuk menegaskan penting dan arti dari kaum “awam religius” dan untuk menginterpretasikan ciri-ciri yang beragam dalam kehidupannya: keterbukaan para Bruder dengan Kristus, partisipasi dalam pelayanan Gereja, tanda kehadiran Kerajaan Allah dan nilai-nilai transenden yang lebih penting dari nilai-nilai imanen.
Suatu permohonan juga diutarakan untuk membentuk formasi para Bruder yang lengkap dan juga timbul pertanyaan apakah seorang Bruder diperbolehkan menjadi anggota pimpinan dari klerikal atau campuran.
Akhirnya, Kongregasi awam diminta untuk menemukan cara untuk berbagi spiritualitas, solidaritas, kerjasama mereka dengan para awam yang berhubungan dengan mereka.
Dalam alinea lain berjudul “Consecrated Christifideles”, hal berikut tertulis mengenai Bruder religius: “Pada mulanya bentuk historis dari kehidupan religius memiliki ciri keawaman dibandingkan dengan ciri imamat. Bahkan, dimasa kinipun banyak anggota hidup bakti atau serikat hidup apostolik adalah mereka yang dibaktikan atau kaum awam yang diikutsertakan meskipun mereka bukan awam seperti orang lain yang hidup dalam dunia. Karena pengabdian mereka, mereka memiliki, dibanding dengan awam yang lain, sedikit dari sifat-sifat awam tradisional, yaitu kehidupan yang dijalankan ditengah-tengah dunia atau keterlibatan dalam masalah-masalah duniawi. Tetapi sifat awam tersebut timbul sesuai dengan hakikatnya, daya tarik dan sifat-sifat lain yang cocok tepat bagi kaum awam dan sesuai dengan jenis kehidupan yang mereka jalankan dan jenis pelayanan yang mereka penuhi dalam Gereja dan dalam masyarakat, juga sesuai dengan Tarekat atau Serikat mereka.” (IL, no. 69).
Dalam teks ini juga, pertentangan antara keberadaan religius dan tetap menjadi kaum awam menjadi sangat jelas. Suatu keistimewaan dari misi tersebut juga disebutkan. “Wanita dan Bruder awam yang dibaktikan yang tergabung dalam Kongregasi hidup apostolik dapat, berkat misi khusus mereka, berpengaruh secara efektif demi pembaharuan dunia dalam semangat sabda bahagia.”
Selama Sinode gagasan-gagasan ini telah dijabarkan lebih lanjut dalam nasihat “Vita Consecrata” (VC), suatu alinea yang panjang mengupas khusus mengenai Bruder religius. Hal ini diulang, pertama-tama yang sifat keberadaan hidup bakti bukanlah klerikal maupun awam. “Oleh karena itu ‘hidup bakti awam’ baik untuk pria maupun wanita merupakan suatu keberadaan dimana dalam pengabdian terhadap nasihat Injil adalah lengkap dalam dirinya” (VC, no. 60).
Tetapi beberapa keberatan yang diutarakan saat sinode terhadap istilah “tarekat awam”
“Menurut terminologi yang sekarang digunakan, Tarekat-Tarekat yang,
dikarenakan tujuan pendiri atau tradisi yang kuat, memiliki ciri dan tujuan yang tidak mencakup menjalankan Ordo Suci disebut ‘Tarekat Awam’. Meskipun demikian menunjukkan bahwa terminologi demikian tidak cukup mengungkapkan jenis karya anggota-anggota Tarekat Religius tersebut. Nyatanya meskipun mereka banyak mengerjakan karya kaum awam beriman, mereka melakukannya sejalan dengan disucikan mereka, dan karenanya mengekspresikan pemberian diri secara menyeluruh bagi Kristus dan Gereja, sesuai dengan kepribadian mereka.
Karena itulah para Bapa Sinode, untuk menghindari ketidak jelasan dan kebingungan antara keberadaan kaum awam beriman yang sekuler, mengajukan istilah ‘Tarekat Bruder Religius” (VC, no. 60). Maka suatu istilah baru diperkenalkan: Tarekat Bruder Religius. Yang sangat memperkaya dan inovatif adalah penjelasan lebih jauh istilah “Bruder” dari pidato Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 22 February 1995.
“Kaum religius ini telah terpanggil untuk mejadi saudara laki-laki Kristus
sendiri, ‘putra sulung di antara banyak saudara laki-laki’ (Rm. 8,29). Saudara laki-laki satu dengan yang lain, dalam kasih sesama dan bekerja bersama dalam Gereja demi kebaikan bersama. Saudara laki-laki bagi semua orang, sebagai saksi kasih Kristus untuk semua, terutama yang terendah, yang termiskin; saudara laki-laki yang membangun persaudaraan lebih erat dalam Gereja. Dengan menghidupi aspek ini, di mana kehidupan Kristiani dan hidup bakti memiliki banyak kesamaan, secara khusus ‘para Bruder religius’ mengingatkan para imam dengan jelas aspek dasar persaudaraan ini dalam Kristus, yang harus dihidupi antara pria dan dengan setiap pria dan wanita. Lebih dari itu, mereka mewartakan Sabda Allah bagi semua: “Dan kamu semua adalah saudara’ (Mat. 23 : 8).”
Empat interpretasi mengenai arti menjadi seorang Bruder religius yang mencakup unsur dasar hidup religius: contemplatio, communio dan missio. Selain itu, ada misi khusus untuk membantu mengembangkan rasa persaudaraan dalam Gereja dan dunia. Gagasan bahwa para Bruder, seharusnya, memiliki pesan khusus bagi para imam adalah sungguh-sungguh baru.
Lebih jauh dalam naskah tersebut pertanyaan yang juga diajukan dalam “Perfectae caritatis” juga diulas. Kita mengacu pada pertanyaan apakah seorang Bruder sebaiknya ditahbiskan sebagai imam agar bisa merayakan misa dalam rumah mereka sendiri?. Tidak ada argumentasi yang kuat melawan hal ini, tetapi dalam dokumen ini dengan pasti dijelaskan bahwa hal tersebut secara eksplisit tidak dianjurkan karena sangat diharapkan bagi para Bruder religius untuk tetap setia terhadap karya dan misi aslinya.
Untuk pertanyaan yang diajukan dalam “Instrumentum labori”, mengenai apakah Bruder religius berhak menjabat suatu fungsi administratif dalam suatu Tarekat klerikal, jawabannya adalah “tidak”, paling tidak dalam “Vita Consecrata”. “Dalam Tarekat tersebut para imam merupakan bagian penting dari tarekat tersebut dan menentukan sifat, tujuan dan semangat” (VC, no. 60).
Dalam hal Tarekat campuran, tertera dalam dokumen bahwa semua kaum religius memiliki hak dan tugas yang sama, suatu komisi khusus akan dibentuk jika ada masalah yang timbul. Hal ini menambahkan satu bab baru kepada buku “Tarekat Bruder Religius” dan memberi wewenang bagi para Bruder sendiri untuk lebih memperjelas identitas mereka.

Awam atau Religius

Tetapi sebelum melanjutkan permenungan kita mengenai identitas  ini, saya ingin lebih mendalami sifat-sifat awam dari Tarekat Bruder religius.
Dokumen-dokumen Konsili menggaris bawahi karakter kaum awam dari
Tarekat itu sendiri dan para Bruder. Br. Michel Sauvage FSC. membahas pilihan ini dan masalah-masalah yang timbul darinya dalam kontribusinya berjudul “La vie religieuse laique” dalam “Vatikan II, l’adaptation et la renovation de la vie religieuse”.
Ia menemukan kekurang jelasan dan mereka yang tergabung dalam Tarekat awam sudah tidak memenuhi kriteria khas, seperti tertera dalam “Lumen Gentium” agar dapat dianggap sebagai kaum awam yakni sebagai orang yang hidup dalam dunia. Tetapi karena istilah “kaum awam” atau “orang awam” digunakan dalam setiap dokumen, ia masih setuju untuk menggunakan istilah tersebut. Ia mengacu pada Congar yang mengaku, dalam suatu naskah membahas teologi kaum awam, bahwa religius, seperti halnya dengan orang awam, berpartisipasi dalam kehidupan imamat sebagai tindak lanjut dari Rahmat babtisan (bdk. Jalons pour une théologie du laïcat, hal. 366).
Hidup imamat diambil sebagai titik tolak dan pusat orientasi yang lazim. Memang benar bahwa kaum awam dan religius tidak berbeda dalam hal itu. Tetapi, alangkah baiknya untuk tetap mengingat pada saat seseorang dibabtis, orang tersebut telah terpanggil untuk menjadi raja, imam dan nabi. Karena devosi terhadap Rahmat babtisan diakui bahwa seseorang yang telah dibabtis adalah raja dirinya sendiri sudah tidak lagi menjadi hamba dari dosa, imam dalam kesatuan dengan Allah Bapa dan Imam Tertinggi, Kristus, dan bahwa ia, karena telah dikaruniai Roh Kudus sanggup untuk beribadat kepada Tuhan, berperan sebagai nabi, mewartakan Sabda Allah, serta mengerti dan mewartakannya. Rahmat babtisan memberi orang kebebasan murni (raja), kekudusan (imamat) dan kebenaran (nabi). Dalam konteks tersebut kaum imam secara umum harus dimengerti dan penunjukkan dari Rahmat babtisan harus dapat terlihat. Dengan pengertian itu, kaum religius adalah dan tetap umat kristen yang menjalankan hidup secara eksklusif berdasarkan Rahmat babtisan yang telah diterimanya dan dalam terang kebangkitan. Bila kita menelaah istilah “awam” dari sudut pandang tersebut tidak ada lagi ketegangan antara kaum religius dan awam. Tetapi jika kita mengartikan istilah “awam” berdasarkan definisi “Lumen Gentium”, perbedaan tidak dapat disangkal karena bersifat dasar: karena berada dalam dunia, umat Kristiani yang bukan imam maupun religius. Kita berbicara tiga keadaan hidup yang berbeda yaitu: awam, imamat dan religius.
Dalam perjalanan sinode mengenai karya dan misi umat awam, Bruder religius tidak diundang dalam kapasitas mereka sebagai kaum awam tetapi dalam kapasitas mereka sebagai religius. Dalam naskah-naskah tersebut karya pelayanan seorang religius dianggap melengkapi karya pelayanan kaum awam karena mereka aktif dalam karya yang sama.
Pada tanggal 12 October 1987, Mgr. Corecco, ketua dari Consociatio Internationalis Studio Iuris Conoci Promovendo menempatkan kaum awam ditengah-tengah proses sekulerisasi. “Kehidupan imamat sekuler terdiri dari kenyataan yang memiliki konsekuensi teologis, bahwa kaum awam terpanggil untuk memberikan kontribusi penebusan kepada dunia dengan menerima tanggung jawab untuk kondisi kehidupan terstruktur yang dimiliki semua orang. Hal ini diinterpretasikan dengan kurang meyakinkan dan dijelmakan dalam ketiga bentuk Tarekat hukum alamiah: kepemilikan, pernikahan dan kebebasan untuk mengatur kehidupan sendiri.”
Karena seorang religius memilih untuk mentaati nasihat Injil maka ia tidak memperoleh barang-barang milik, dan ia tidak menikah dan setuju untuk diatur hidupnya oleh atasannya. Naskah tersebut selanjutnya mengupas konsekuensi dari kehidupan religius. “Sifat sekuler dihilangkan dengan disucikan melalui kaul-kaul, yang mengungkapkan tiga nasihat Injil, termasuk didalamnya Tarekat Sekuler.”
Mgr. Fagiolo yang waktu itu menjabat sebagai sekretaris dari Kongregasi Urusan Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Apostolik, memiliki pandangan yang sama dan menambahkan bahwa pandangan teologis, dimana ada suatu pembedaan jelas antara kaum awam dan religius, sebaiknya dijadikan dasar dari semua diskusi klerikal yang lain, baik yang bersifat hukum maupun pastoral (bdk. 6 Maret 1987 dimuka Komisi dari 16 anggota U.S.G). Berbicara secara teologis, umat percaya Kristiani terdiri dari dua kelompok: kaum awam dan yang orang yang membaktikan diri. Berdasarkan hal itulah Vatikan mencapai pada pemisahan menjadi tiga kelompok berbeda dalam “Lumen Gentium”: imam, kaum awam yang bukan imam maupun religius, religius.
Hal ini juga menjadi dasar bagi Hukum Kanonik bagi gagasan bahwa hidup religius berdasarkan sifatnya bukanlah imam maupun awam (bdk. KHK, ayat 588). Tetapi beberapa religius dapat ditahbiskan sebagai imam, dan hal ini memberi dimensi baru dalam hidup religius. Berdasarkan gagasan ini kita mungkin dapat merumuskan gagasan berikut: dengan memasuki hidup religius, umat kristen meninggalkan status awamnya dan menjadi religius yang menjadi status barunya.
Gagasan itulah yang ditetapkan oleh sinode mengenai hidup bakti. Dengan sadar “Bruder awam” dan “Tarekat sekuler” ditinggalkan dan diganti dengan “Bruder religius” dan “ Tarekat para bruder religius”. Penekanan berada pada disucikan, pada “Vita Consecrata”, yang merupakan cara hidup yang dapat dipilih umat kristen (baik awam maupun imam). Dan mengenai Tarekat para bruder religius, anggota-anggotanya telah membuat pilihan secara sadar untuk tidak ditahbiskan sebagai imam. Mereka tetap menjadi religius dalam bentuk yang paling murni.


Daftar Pustaka

  1. Beyer, Jen, Ler dreit de la vie consacrée. Paris, Tardy, 1988, pp. 223
  2. Bruder in Instituten voor Lekenreligieuzen. Rome, Unione Superiori Generalli, 1991, pp. 80.
  3. Christifidelis Laiïci, Postsynodale apolstoische exhortatie over de roeping end de zending van de leken. Uthrech, Kerkelijke documentatie, 1989, pp.92.
  4. Comité canonique des religieux, Directoire cononique. Paris, Cerf, 1986, pp.320.
  5. Constituies en Decreten van het 2de Vaticaans oecumenisch concilie. Amersfoort, Katholiek Archief, 1967, pp. 585.
  6. De Sales, Frasciscus, Introduction to the devout life. Rockford, Tan books, 1994, pp. 318.
  7. Instrumentum Laboris, Het godgewijde leven en zijn zending in kerk en wereld. Utrecht, Kerkelijke documentatie, 1995, p. 3-86.
  8. Les religieux, documents réunis et présentés par Robert Ackerman. Paris, Centurion, 1988, pp. 281.
  9. Richtijnen voor de vorming in de religieuze instituten. Utrecht, Kerkelijke documentatie, 1990, pp. 45.
  10. Sauvage, Michel, La vie religieuse laïque, in Vatican II, l’adaptation et la rénovation de la vie religieux. Paris, Cerf, 1967, p. 301-374.
  11. Tremblay, Albert, Le frère est-il laïc? in La vie des cummunautés religieuses. Québec, Mai 1997, p. 162-174.
  12. Tremblay, Albert, Religieux frère, in La vie des cummunautés religieuses. Québec, Nov. 1996, p. 269-291.
  13. van Rijen, Al., Het tweede Vaticaans Concilie overhet religieuze leven. Gent, Bruders van Liefde, 1967, pp. 132.
  14. Vita consacrata, Postsynodale apostolische exhortatie. Utrecht, Kerkelijke documenten, 1996, pp. 75.
  15. Wetboek van canoniek recht. Brussel, Licap-Gooi en Sticht, 1983, pp. 855.




Perkembangan Tarekat Religius Bruder

Dalam amanatnya kepada anggota-anggota Kongregasi Religius pada tanggal 24 Januari 1986, Paus Yohanes Paulus II membahas asal usul hidup religius. “Hidup religius semula dalam bentuk perkumpulan awam. Cara hidup ini terlahir dari keinginan umat Kristiani yang hendak menunjukkan Rahmat babtisan mereka, agar lebih membuahkan hasil, dan yang ingin membebaskan diri mereka dari hambatan-hambatan yang dapat mencegah mereka untuk menghidupi kasih dan ibadat kudus sepenuhnya” (bdk. no. 2).
Oleh karena itu, kita ingin menempatkan panggilan dan misi Bruder religius dalam konteks yang lebih luas sehubungan dengan sejarah hidup membiara.

Asal Usul hidup membiara: Bruder di padang gurun

Hidup membiara bermula dari keinginan umat untuk menunjukkan dengan kuat usaha mereka untuk meniru Kristus. Umat Kristen pertama terpaksa melakukan hal tersebut dalam dunia yang memusuhi mereka, maka usaha tersebut berarti harus siap untuk menjadi martir. Masa di mana orang Kristen dianiaya secara aktif sejak tahun 64, pada masa kekuasaan kaisar Nero, St. Petrus dibunuh sebagai martir, hingga tahun 293 pada masa kekuasaan kaisar Diocletianus. Sejak saat itu, kekaisaran Roma mulai hancur, hal ini berakibat pada pemburuan terhadap umat Kristen menjadi kurang fanatik.
Sejak Edik Milan pada tahun 313, umat Kristen dapat menikmati kebebasan menjalankan ibadat agama mereka. Mereka diperlakukan oleh Kaisar Konstantinus sama halnya dengan gerakan agama lain. Hal ini memudahkan orang menjadi umat Kristen, pengaruh ini berakibat pada bertambahnya jumlah umat Kristen, kesalehan mereka meskipun tidak selalu seperti yang seharusnya. Lengkaplah kebebasan mereka pada saat agama Kristen dijadikan agama resmi negara pada akhir abad ke IV.
Karena kemartiran bukan lagi satu-satunya cara untuk meniru Kristus, umat Kristiani harus mencari cara lain untuk meniru-Nya. Mereka memilih pola hidup askese dan gerakan inilah yang akhirnya merintis jalan apa yang kita sebut sebagai religius atau hidup bakti saat ini. Jejak pertama hidup membiara ditemukan di Mesir dan berasal dari abad ke III. Para Hermit dan anakoret pergi ke padang gurun supaya lebih dekat mengikuti Kristus melalui keheningan, askese dan kontemplasi. Mereka akan mengosongkan diri (martyrdom). Mereka menjadi rahib (monks berasal dari kata monos yang artinya sendiri) atau para bapa padang gurun. Bapa padang gurun yang pertama dikenal adalah St. Antonius (± 250 - ± 356) yang memasuki padang gurun Mesir sekitar tahun 285. Ia sering disebut sebagai bapa para rahib. Setelah beberapa waktu, para hermit lain datang untuk tinggal dengannya tetapi mereka menutup diri. Antonius menjadi bapa rohani mereka tanpa benar-benar hidup dalam satu komunitas dengan mereka.
Hal ini berubah sejak masa St. Pachomius (292 – 346) yang mendirikan biara pertama di Tabennisi, di tepi sungai Nil pada sekitar tahun 320. Hal ini merupakan awal akan hidup membiara dalam bentuk baru yaitu coenobital atau komunitas.
St. Basilius Agung memperkenalkan kehidupan membiara seperti ini di Asia Kecil dan yang pertama kali membuat suatu aturan hidup yang menekankan ketaatan  dan kerja membiara baik fisik maupun intelektual.
Sebagian besar para rahib pertama ini mungkin tetap awam. Hal ini berubah saat cara hidup membiara ini diperkenalkan di dunia Barat dan banyak imam yang memilih hidup dengan pola hidup demikian. St. Agustinus, uskup Afrika Utara Tagaste dan Hippo, memilih hidup bersama dengan imam-imam lain sejak  395.  Pada tahun 397, ia membuat aturan hidup yang berpusat pada cinta kasih dan hidup berkomunitas.
            Cara hidup bersama ini menjadi populer di Eropa. Pada tahun 370 St. Martinus dari Tours pergi untuk hidup bersama imamnya setelah beberapa lama hidup sendiri sebagai pertapa. Nama-nama lain yang terkenal adalah St. Athanasius (sekitar 357) dari Gaul, St. Patricius dan St. Columba dari Irlandia pada abad ke V dan St. Eusebius dari Italia. Sebagian besar dari mereka akan menggabungkan antara hidup komunitas dengan pewartaan dan bimbingan rohani, hal ini yang membuatnya lebih mungkin bahwa sebagian besar anggota juga imam.
Pada akhir abad ke V, para rahib telah menyebar ke seluruh kekaisaran Roma. Konsili Kalsedon, yang diadakan pada tahun 451, menempatkan para rahib dibawah pengawasan wewenang gereja. Baru pada masa St. Benediktus (480-547) gabungan dari tipe padang gurun dan komunitas diatur dalam suatu pedoman yang memberi keseimbangan dan suatu rasa identitas. St. Benediktus yang merintis dasar-dasar hidup membiara di Barat. Sejak tahun 787, peraturannya menjadi pedoman bagi semua biara dan monastik, di Kerajaan Carolingian. Para klerus yang hidup dalam komunitas saat ini masih mengikuti pedoman St. Agustinus.
            Perkembangan selanjutnya dari aturan St. Benediktus yaitu bertumbuhnya dua kelompok anggota biara. Di satu pihak ada rahib, yang sebagian besar terdiri dari para imam, yang sibuk dengan paduan suara doa dan pelayanan liturgis. Di lain pihak terdapat biarawan awam yang kerja tangan. Sistem ini semakin menjadi suatu model setelah Reformasi Cluny (910). Tetapi hal ini mengganggu keseimbangan yang telah ditekankan St. Beneditus untuk sekian lama. Dan menimbulkan beberapa reaksi baik di dalam maupun di luar Gereja.
            Kelompok-kelompok baru terbentuk di Italia: Ordo Camaldolites atau Camaldolensia, yang didirikan oleh St. Romuald (1027), Ordo Vallumbrosa yang didirikan oleh St. Yohanes Gualbert dan anggota-anggotanya menyebut dirinya “fratres conversi” dan memilih untuk kerja tangan. Di Perancis terdapat Ordo Carthusians, yang didirikan oleh St. Bruno yang pergi untuk menjalani hidup sebagai hermit (1084). Di tengah-tengah Ordo Benediktine sendiri, sebuah reaksi timbul ketika di Citeaux pada tahun 1098, Abas dari Molesme, Robert, menerapkan sebuah reformasi yang menekankan pola kehidupan sederhana secara umum, evaluasi ulang kerja tangan, serta pencarian keheningan hidup. Dengan kedatangan St. Bernardus di tahun 1112 Ordo yang berada di Citeaux, yaitu Ordo Cistercian, mulai berkembang lagi. Di semua biara pembedaan antara rahib dan Bruder tetap ada. Apa yang bermula sebagai gerakan awam murni telah berkembang menjadi sebuah gerakan klerus.
            Untuk menutup diskusi mengenai abad pertengahan ini, Ordo mendicant layak disebut juga, dengan nama  Ordo Franciskan yang didirikan oleh St. Franciskus Assisi pada tahun 1211, dan Ordo Dominikan yang didirikan oleh St. Dominikus Guzman  pada tahun 1214. Mereka menekankan cara hidup miskin dan mewartakan iman di kota-kota besar dan kecil. Pada awalnya, sebagian besar dari mereka adalah para Bruder awam, tapi dengan berjalannya waktu mereka berubah menjadi suatu komunitas klerus karena misi mereka untuk mewartakan iman. Disamping itu, terdapat Canon Regula yang hidup sesuai dengan pedoman St. Agustinus. Yang paling terkenal diantaranya adalah para Premonstratensians yang didirikan oleh St. Norbert Kanten pada tahun 1120.
Pada masa Perang Salib terbentuk beberapa Ordo kaum kesatria seperti Ksatria St. Yohanes, Ksatria Templar dan Ordo German, yang pertama dari Ordo-ordo tersebut ini didirikan di Yerusalem pada tahun 1048 oleh Gerard Malfi. Ordo-ordo ini berkembang menjadi kelompok-kelompok yang terdiri dari tiga tipe keanggotaan: kaum kesatria yang menjalankan tugasnya di medan perang, imam yang memberi bimbingan rohani dan bruder awam yang merawat mereka yang sakit atau cidera di medan perang.




Tipe  Baru Biarawan Bruder Sejak Abad Pertengahan

Bentuk-bentuk baru biara, yang timbul pada Abad Pertengahan dianggap sebagai cikal bakal dari Tarekat Religius Bruder yang ada pada abad ke XIX. Mereka dibentuk untuk mengatasi situasi mendesak dan karya apostolik menjadi bagian terpenting dari hidup mereka.
Pertama, ada Ordo Rumah Sakit  (Hospital Order). Bruder Rumah Sakit dari Roh Kudus (the Hospital Brothers of the Holy Ghost) didirikan di Montpellier pada tahun 1195 untuk melayani rumah sakit-rumah sakit setempat. Pada tahun 1204 mereka dipercayakan untuk merawat para pasien di Rumah Sakit Santo Spirito di Roma. Kemudian, mereka melayani di rumah sakit-rumah sakit baru di berbagai negara.
            Ada kemungkinan bahwa para Bruder dan Suster yang aktif di berkarya di rumah sakit Flemish pada Abad Pertengahan bagian dari Ordo Rumah Sakit. Suatu penelitian mengenai Suster St. Julian diadakan di Bruges dan dari penelitian ini ditemukan bahwa para Suster terikat oleh kaul dan janji, tetapi dapat dikeluarkan sewaktu-waktu dan diperbolehkan menerima warisan.
            Bertahun-tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1540, Ordo Rumah Sakit  dari Bruder Rumah Sakit St. Yohanes De Deo di Granada. Didirikan oleh Juan Ciudad, seorang warga Portugis, Ordo ini berkarya dalam bidang perawatan para pasien sakit jiwa. Paus Pius V menyetujui didirikannya Ordo Rumah Sakit  yang telah mengakui regula St. Agustinus pada tahun 1572. Pada mulanya Ordo ini mendapat izin bagi sebagian anggota untuk ditahbiskan sebagai imam agar mereka dapat mempersembahkan misa di komunitas-komunitas mereka sendiri. Tetapi pada umumnya,  dapat dikatakan bahwa Bruder Rumah Sakit St. Yohanes De Deo adalah Tarekat Religius Bruder yang pertama. Camillus de Lellis (1550 – 1614) seorang kontemporer Juan Ciudad mendirikan sebuah Ordo serupa di Roma pada tahun 1586. Ordo ini secara khusus berkarya untuk merawat orang sakit, meskipun akhirnya berkembang menjadi Ordo klerus dengan sangat cepat.
Kelompok yang kedua terdiri dari Cellites atau Bruder Alexian. Bruder Alexian bermula pada abad ke 14 ketika banyak kota besar dan kecil dilanda wabah. Dari antara kaum papa, para pria mengajukan diri membentuk suatu komunitas religius baru yang ingin merawat dan menguburkan korban wabah tersebut. Di kota Cologne, mereka disebut beghards, di Antwerp sebagai Mattemannen dan Lollards tetapi pada umumnya mereka disebut Cellites. Kemudian, mereka memilih St. Alexius sebagai pelindung mereka. Pada tahun 1458 Paus Pius II mengizinkan mereka untuk mengucapkan kaul religius. Hampir semua komunitas Bruder Alexian mengikuti regula St. Agustinus. Pada tahun 1468, Kapitel Umum yang pertama diadakan di Liege, yang mana Superior Jendral terpilih dan struktur provinsi dikembangkan. Tetapi, struktur tersebut terhambat pelaksanaannya oleh gerakan Reformasi pada tahun 1550 dan ditinggalkan sama sekali saat Revolusi Perancis. Biara-biara yang terpisah dari Bruder Alexian tersebut tetap ada dan dalam pengawasan administrasi tunggal kembali pada tahun 1975. Mereka tetap bertahan dengan hakikat awam mereka. Setelah Konsili Vatikan II beberapa dari anggotanya ditahbiskan agar dapat mempersembahkan misa di komunitas milik ordo.
Akhirnya, terdapat beguine dan beghard yang telah kita bahas dalam paragraf sebelumnya. Asal usul mereka kurang begitu jelas. Ada kemungkinan mereka muncul saat ada ketertarikan pada bentuk-bentuk hidup religius baru, banyaknya jumlah wanita akibat Perang Salib dimana banyak wanita tidak menikah dan tidak terlindung dikota-kota kecil dan besar, sebagai akibatnya, wanita, tidak dapat menjalankan tugas dalam masyarakat agraris yang memiliki tatanan yang kolot dan tidak sanggup memberi emas kawin yang diminta harus dibayar bila ingin bergabung dengan Suster-suster Cistercian. Dengan kata lain, ada wanita yang mencari suatu pola hidup religius diluar pernikahan atau keluarga. Tetapi Konsili Lateran IV (1215) menuntut bahwa gerakan religius baru harus mengikuti struktur komunitas religius yang sudah ada.
Pada mulanya, para beguine adalah wanita-wanita saleh yang posisinya berada diantara kaum awam dan religius. Mereka tinggal diseluruh penjuru kota dan menggabungkan cara hidup saleh dengan kegiatan merawat orang sakit dan kaum papa.
Pada tahun 1216 , Jacob de Vitry memperoleh izin dari Paus Innocent III untuk mendirikan beguine dibawah pengawasan imam paroki. Biara-biara Beguinages ini merupakan miniatur yang terdapat di tengah kota. Mereka memiliki gereja dan  pekuburan sendiri. Para beguine tinggal di rumah-rumah terpisah atau komunitas. Beguinage dipimpin oleh seorang Grand Mistress. Mereka telah mengucapkan kaul ketaatan dan kemurnian tetapi bukan kaul kemiskinan. Selain bimbingan rohani dan merawat rumah tangga mereka juga kebanyakan aktif sebagai penenun atau penjahit.
Tiap beguinage memiliki peraturan sendiri-sendiri meskipun mengacu pada regula St. Agustinus. Para beguine mengatur untuk mempertahankan keberadaannya selama berabad-abad dan setiap kemerosotan selalu diikuti oleh suatu kebangkitan yang besar. Tetapi, dalam beberapa dasawarsa terakhir mereka telah menyerah dalam usaha mereka untuk beradaptasi dengan perubahan zaman dan sekarang sepertinya beguine ditakdirkan untuk punah. Di banyak tempat beguinage semacam ini telah diubah menjadi tempat-tempat sosial atau kebudayaan.
Komunitas-komunitas beguine yang berkembang menjadi komunitas biara
dari tahun ke tahun dapat bertahan hidup karena mereka dapat beradaptasi terhadap kebutuhan-kebutuhan baru. Kaum beghard sendiri telah punah.Beberapa kelompok seperti Alexian berkembang menjadi komunitas biara juga dan menjalani pedoman yang menyebabkan mereka diakui recara resmi.
Sehubungan dengan Kongregasi Apostolik, ada tiga tokoh bersejarah yang patut dibahas. Mereka berjasa dalam hal meletakkan dasar-dasar dari Kongregasi modern. Karena Tarekat Bruder Religius merupakan Kongregasi Apostolik, kita perlu menjelaskan beberapa hakikat dan sejarah mereka. Mereka adalah St. Fransiskus Sales, St. Vinsensius A Paolo dan St. Yohanes Baptis de la Salle.
St. Fransiskus Sales (1567 – 1622) mulanya merencanakan untuk mendirikan komunitas biara tanpa ada klausura dengan tujuan mengorganisir kegiatan perawatan bagi orang sakit. Bersama-sama St. Jane dari Chantal, ia terpaksa meninggalkan rencana tersebut tetapi akhirnya mendirikan Ordo Kontemplatif Suster Visitasi Maria. Selain menjalani hidup kontemplatif, para Suster tersebut ditugaskan mengadakan pendidikan bagi anak-anak perempuan. Contoh ini ternyata memberi inspirasi sehingga para imam lain, mengambil St. Fransiskus Sales sebagai panutan, berinisiatif untuk membangun Kongregasi serupa. Maka, pada tahun 1669, Kongregasi  Visitasi Maria didirikan di Gent di mana para Suster mengajar anak-anak perempuan dan merawat orang-orang sakit di rumah-rumah perawatan korban wabah.
St. Vinsensius A Paolo (1581 – 1660) adalah seorang imam yang amat prihatin dengan kemiskinan material dan rohani rakyat Perancis dan ingin mendedikasikan hidupnya untuk memecahkan masalah tersebut. Pada tahun 1617, ia kumpulkan beberapa wanita dari keluarga-keluarga berada dan menugaskan mereka untuk memberi pelayanan rohani bagi kaum miskin. Ia menyebut mereka Dames de la Charité atau Putri Kasih.  Pada tahun 1625, ia mendirikan Kongregasi misionaris yang bernama Lazarist. Mereka bertanggung jawab untuk menyebarkan Injil dan mendidik anggota seminari. Bersama dengan janda kaya Louise de Marillac, ia mendirikan Putri Kasih pada tahun 1626. Mereka bertugas merawat para orang sakit dan kaum miskin. Adalah suatu pilihan yang disengaja untuk menamakan mereka Putri-putri karena mereka tidak membentuk suatu komunitas dalam arti yang sesungguhnya. Mereka tinggal di Paroki dan memakai pakaian tradisional setempat. Komunitas ini disetujui oleh Uskup Agung Paris, yang menjadi tahap penting dalam sejarah hidup membiara. Apa yang ingin dicapai oleh St. Fransiskus Sales namun hal itu tidak tercapai sekarang itu menjadi mungkin.  Sebuah jalan terbuka untuk bentuk baru hidup membiara: hidup yang disucikan untuk Allah, tetapi berada ditengah-tengah rakyat dan para penderita. St. Vinsensius A Paolo telah mengilhami bagi banyak pendiri Kongregasi, dan selanjutnya mereka ingin sekali memilihnya sebagai pelindung mereka.
            Yang terakhir adalah St. Yohanes Baptis de la Salle  (1651-1719), yang telah menjadi Kanon di Katedral Reims pada usia 17 tahun. Selama masa studinya  dan saat ia menjadi imam muda, ia berhadapan dengan kebutuhan akan pendidikan bagi anak-anak kelas buruh. Ia mendirikan sebuah sekolah untuk kaum miskin dan untuk menjamin kualitas pendidikan yang diberikan, ia mengumpulkan guru-guru,  membuat kurikulum harian bagi mereka, maka lahirlah Bruder Sekolah Kristiani pada tahun 1681. Secara bertahap ia mengarahkan guru-guru sekolah mengarah pada hidup religius. Pada tahun 1686, mereka mengucapkan kaul sementara untuk pertama kali untuk periode satu tahun. Meskipun banyak pertentangan dan konflik, ia berhasil memberi para Bruder tersebut status mereka tersendiri. Ia memandang mereka sebagai Bruder awam yang dengan jelas membedakan dirinya dari kaum klerus. Namun, dengan mengucapkan kaul, memakai jubah religius, pada akhirnya mereka religius.
St. Yohanes Baptis de la Salle dan Bruder-Brudernya dianggap sebagai perintis bagi Kongregasi Apostolik, yang banyak didirikan secara besar-besaran setelah Revolusi Perancis dan sebagian besar mengkhususkan diri dalam bidang pendidikan dan perawatan kesehatan.

Perkembangan Tarekat Religius Bruder

Setelah Revolusi Perancis, Tarekat Religius Bruder mulai berkembang di mana-mana seperti jamur. Sebagian besar Tarekat Religius Bruder menggabungkan dengan pandangan St. Vinsensius A Paolo tentang pengadaan bantuan untuk kaum miskin dan model St. Yohanes Baptis de la Salle untuk struktur organisasi mereka. Prinsip dasar adalah selalu berkeinginan untuk memenuhi suatu kebutuhan mendesak yang berdasarkan pada motivasi pewartaan. Untuk tujuan tersebut, orang-orang yang bersedia mendedikasikan dirinya untuk melakukannya, dikumpulkan bersama.  Tidak ada kewajiban atau keharusan menjadi imam untuk memenuhi misi apostolik ini, bahkan lebih baik untuk tidak menjadi imam karena lebih memberi waktu untuk menjalankan misi yang sesungguhnya. Orang-orang yang ingin bergabung seperti Tarekat Religius Bruder diwajibkan mengikuti pendidikan profesional sebagai guru, pendidik atau perawat. Oleh karenanya, para Bruder perlu untuk mendapat pendidikan ganda: formasi religius saat menjalani masa Novisiat dan pelatihan profesional pada masa skolastikat atau yuniorat (masa Kaul Sementara).
            Suatu cikal bakal Tarekat Religius Bruder di Flanders, yaitu Tarekat Bruder Van Dale. Tarekat ini didirikan di Courtrai pada tahun 1761 oleh Rm. Joseph Van Dale. Para Bruder berkarya dalam bidang pendidikan bagi kaum miskin. Sesungguhnya, Tarekat ini disebut Bruder Karitas, namun, selang beberapa saat kemudian masyarakat mengantinya dengan nama Bruder Van Dale.  Pedoman hidup mereka menjadi contoh untuk Kongregasi serupa seperti Bruder Rumah Sakit St. Vinsensius, yang didirikan oleh Canon Peter Yosef Triest di Gent pada tahun 1807. Tugas utama mereka adalah menjaga dan merawat kaum lanjut usia  di Panti Jompo Byloke di Gent. Pada tahun 1812, mereka menjadi perintis dibidang perawatan pasien-pasien yang mengalami sakit jiwa. Beberapa waktu kemudian, mereka juga aktif melibatkan diri dalam bidang pendidikan dan perawatan anak-anak cacat. Masyarakat Gent menyebut mereka Bruder Karitas sebagai analogi dengan Suster Karitas Yesus dan Maria,  yang juga didirikan oleh Triest, tepatnya pada tahun 1803. Maka akhirnya, mereka memilih nama itu sebagai nama resmi. Pada tahun 1865, beberapa Bruder dikirim ke Kanada dan suatu usulan diajukan untuk menjadikan aturan hidup dan Konstitusi agar diakui dan disetujui oleh Paus. Persetujuan diperoleh pada tahun 1888. Pada tahun 1911, misionaris dikirim ke Kongo. Meskipun mereka berada ditempat tugas, mereka tetap setia pada tradisi karya apostolik mereka, yaitu pendidikan, perawatan pasien yang mengalami sakit jiwa dan orang-orang cacat. Hal ini sangat mengesan bahwa Triest dapat melihat suatu hubungan dengan St. Vinsensius A Paolo, sejak semula ia telah memilih nama Bruder Rumah Sakit St.  Vinsensius A Paolo bagi  para Brudernya. Ia juga mengacu pada St. Yohanes Baptis de la Salle dengan menerima metode-metode pengajarannya. Pada saat yang bersamaan, ia juga memperkenalkan unsur-unsur dari dunia religius kontemplatif: para Brudernya menerima jubah sama dengan jubah yang dimiliki oleh para Bruder awam dari Trappist dari Westmalle dan Superior Jendral pertama, Bernardus de Noter secara berangsur menambahkan kebiasaan-kebiasaan dan tradisi kehidupan membiara bagi anggota Kongregasi. Jadi, Triest mengembangkan sebuah model baru hidup membiara, dengan berusaha memadukan hidup kontemplatif dengan hidup yang lebih aktif.
Dengan kegagalan rencananya untuk menggabungkan Kongregasi pertamanya, Suster Karitas Yesus dan Maria, kedalam Kongregasi Putri Kasih St. Vinsensius A Paolo, ia langsung mengajukan permohonan pengakuan Uskup dan menambahkan unsur-unsur hidup membiara dalam pola hidup para Suster dengan memperkenalkan seorang mantan Suster Cistercian kepada mereka. Hal ini akan menjadi model yang akan ia ikuti dalam hal pengorganisasian hidup Bruder Karitas.
Kongregasi Bruder lain yang dengan cepat masuk ke Belgia untuk mengorganisasi pendidikan adalah Kongregasi Saudara Maria, atau Bruder Marist. Kongregasi ini didirikan oleh Marcellin Champagnat (1789 – 1840) di La Valla (Perancis), Champagnat adalah anggota dari Serikat Maria, yang ia dirikan bersama-sama beberapa imam lain, tetapi ia sangat tersentuh melihat keadaan sistem pendidikan yang memprihatinkan. Dengan kurang lebih meniru model St. Yohanes Baptis de la Salle, ia mengumpulkan sekelompok pemuda yang dididik sebagai guru.
Pada tahun 1824, kelompok ini diakui sebagai komunitas religius oleh Uskup Agung Lyon. Champagnat tetap menjadi Superior Jendral mereka sampai 1839, pada tahun itu Bruder-Bruder tersebut memilih Superior Jendral mereka sendiri yang mengakibatkan mereka sungguh terlepas dari Serikat Maria. Champagnat bertanggung jawab atas pengembangan metode pendidikan dimana ia mengutamakan pentingnya suatu suasana kekeluargaan di sekolah-sekolah. Ia juga menganjurkan para Brudernya untuk berdevosi secara mendalam pada Bunda Maria.
            Pada tahun 1823, seorang imam bernama Deshayes mendirikan Kongregasi Bruder St. Gabriel. Tetapi asal usul mereka sesungguhnya, sejak awal abad ke 18 ketika didirikan oleh St. Louis Grignon de Montfort (1673 – 1716) sebagai le Compagnie de Marie yang terdiri dari para imam dan juga para Bruder. Pada waktu itu, kelompok ini memiliki 9 anggota: 5 imam dan 4 Bruder, tetapi kelompok ini gagal. Kelompok ini akhirnya didirikan kembali oleh Gabriel Deshayes pada tahun 1823 dan dari kelompok baru ini mereka dapat berkembang menjadi Kongregasi yang sesungguhnya pada tahun 1830. Para Bruder memilih St. Gabriel sebagai pelindung sedangkan para imam berkembang menjadi kelompok para imam Montfortian. Pada tahun 1842 para Bruder St. Gabriel mendapat pengakuan secara resmi sebagai Kongregasi Bruder yang mandiri. Gabriel Deshayes juga pendiri Bruder Pendidikan Kristiani dari Ploërme di tahun 1816.
Pada tahun 1903 karena adanya serentetan hukum yang melarang Kongregasi di Perancis, para religius tidak dapat melaksanakan karya apostolik mereka, hal ini menyebabkan banyak Kongregasi berkarya ke luar negeri, bahkan Novisiat dan administrasi pusat juga dipindahkan ke negara-negara di sekitar. Ini merupakan salah satu alasan mengapa Kongregasi-kongregasi Bruder yang berasal dari Perancis memiliki ciri dan wawasan internasional.
 Kembali ke Belgia. Pada tahun 1830 Rm. Etienne Modest Glorieux mendirikan Bruder Budi Mulia. Pada waktu itu, ia adalah kurator di Renaix. Kelompok Bruder setempat ini, yang sebagian besar aktif dibidang pendidikan bertumbuh secara perlahan. Di tahun 1880, administrasi mereka dipindahkan ke Oostakker dekat Gent dan nama mereka diganti menjadi Bruder Bunda Kita dari Lourdes, sebagai referensi terhadap tempat ziarah yang berada didekatnya di Oostakker-Lourdes. Kongregasi ini juga berkembang menjadi Kongregasi Internasional dan diakui sebagai Kongregasi Pontifikal pada tahun 1892.
1839 merupakan tahun yang sangat menguntungkan bagi Kongregasi Bruder. Di tahun itu tidak kurang dari tiga Kongregasi Bruder didirikan di Belgia saja. Meskipun harus diingat bahwa setelah Belgia menjadi negara merdeka pada tahun 1830, hal ini mempermudah untuk mendirikan komunitas religius. Undang-undang dasar menjamin kebebasan untuk berkumpul dan kebebasan beragama.
Rm. Van Daele dari St. Niklaas mengumpulkan beberapa pemuda saleh yang ia beri tanggung jawab untuk merawat anak-anak yatim di rumah piatu  panti asuhan  St. Jerome Emiliani. Ini adalah awal dari Kongregasi Bruder Hieronimus. Mereka mengkhusukan diri dalam bidang pendidikan. Tetapi, pada tahun 1849 sebuah keputusan dibuat untuk mendirikan suatu Rumah Sakit Jiwa yang diresmikan pada tahun 1852. Pada tahun 1871 suatu Kongregasi kecil Bruder setempat dari Hamme Bruder St. Dominikus menggabungkan diri dengan Kongregasi Bruder Hieronimus. Hal ini kemudian terjadi dua kali lagi, pada tahun 1901, Bruder St. Dominikus dari Lokeren dan pada tahun 1946 Kongregasi Yohanes De Deo sebuah Kongregasi yang didirikan oleh Canon Triest pada tahun 1824 untuk menangani perawatan rumah tangga. Kongregasi Bruder Hieronimus tetap menjadi Kongregasi Keuskupan.
            Rm. Theodore James Rycken mendirikan Kongregasi Bruder Xaverian di Bruges. Mereka berkarya dalam bidang pendidikan bagi anak-anak kelas buruh dan untuk mengirim Bruder bertugas di Amerika Serikat. Mereka menjadi sebagai Kongregasi Pontifikal pada tahun 1927.
Kongregasi Bruder Bunda yang Berbelaskasih didirikan di Mechlin pada tahun 1839 oleh Mgr. Victor Scheppers. Karya perutusan mereka antara lain menjenguk para narapidana dan mendidik anak-anak kelas buruh. Pada tahun 1847 aturan hidup dan konstitusi mereka diakui dan disetujui oleh Paus. Pada tahun 1854, Paus Pius IX mengundang mereka ke Roma untuk merawat orang sakit dan orang jompo.
            Tarekat Bruder Religius juga datang ke Belgia dari Belanda untuk melaksanakan karya apostolik. Kita mengacu pada seperti misalnya: Kongregasi Bruder Bunda yang Berbelaskasih yang juga dikenal sebagai Bruder CMM.
            Di negeri Belanda 14 Kongregasi Bruder masih aktif sampai sekarang. Enam dari antaranya berasal dari luar negeri: Bruder Sekolah Kristiani, Bruder Marist, Bruder Karitas, Bruder Bunda Kita dari Lourdes (meskipun orang Belanda mengenalnya sebagai Bruder dari Dongen), Bruder Karitas dari Yohanes De Deo dan Bruder Fransiskan. Kedua Kongregasi terakhir didirikan di Jerman. Kongregasi Bruder tertua adalah Penitents yang didirikan oleh Daniel de Brouwer pada tahun 1697. Daniel de Brouwer adalah anggota dari Ordo ketiga St. Fransiskus maka dari itu para Brudernya menjalankan spiritualitas Fransiskan. Pada tahun 1742 Bruder Penitents menetap di Boekel dimana mereka membeli Rumah Padua yang digunakan untuk menerima dan merawat orang-orang cacat mental dan para pasien sakit jiwa. Kongregasi ini tidak diakui sampai tahun 1871. Mereka menjadi panutan penting dalam bidang perawatan para pasien sakit jiwa di negeri Belanda.
            Pada tahun 1840 dua lagi Kongregasi para Bruder didirikan: Bruder Maastricht oleh Mgr. Rutten dan Br. Bernard Hoecken, dan Bruder St. Aloysius Gonzaga di Oudenbosch. Kedua Kongregasi tersebut mengkhususkan diri dibidang pendidikan, pertama di negeri Belanda kemudian di Indonesia. Pada tahun 1844, Mgr. Zwijsen dari Tilburg mendirikan Bruder Bunda kita dan tidak lama setelah itu Bruder yang Berbelaskasih  yang dikenal sebagai Frater dari  Tilburg. Mereka mengkhususkan diri dalam bidang pendidikan biasa dan luar biasa dan bertumbuh ke taraf internasional. Mereka mendapat pengakuan dari Paus pada 1861.
Pada tahun 1850-an, dua Kongrergasi baru terbentuk: Bruder Bunda Tujuh Duka Cita, yang didirikan oleh Rm. Hesseveld di Amsterdam pada tahun 1851 yang aktif dalam bidang pendidikan, dan Bruder dari  Huijbergen yang didirikan oleh Mgr. Van Hooydonck di Huijbergen pada tahun 1854. Mereka juga aktif dalam bidang pendidikan.
Pada tahun 1873, Mgr. Schaepman mendirikan Bruder Bunda Hati Kudus di Utrecht. Mereka mengembangkan karya apostolik dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1928 mereka menetap di Indonesia. Yang terakhir, pada tahun 1875, Mgr. Savelberg mendirikan Bruder St. Yoseph di Heerlen yang aktif dibidang layanan kesehatan. Bila melihat Tarekat Religius Bruder dari sudut pandang internasional, suatu pembedaan dapat dibuat antara Kongregasi yang telah berkembang menjadi komunitas internasional dan Kongregasi yang tetap lokal atau didaerah setempat. Ada 33 Kongregasi yang diakui ole Vatikan, yang terbesar diantaranya yaitu Bruder Sekolah Kristiani setelah itu Bruder Marist (lebih dari 5000 anggota). Kemudian setelah itu Kongregasi yang menengah yang anggota-anggotanya berkisar antara 500 dan 1000 orang. Beberapa contoh anggota kelompok ini yang terpenting adalah Bruder Kristiani (Irlandia), Bruder Ploërmel (Perancis), Bruder Hati Kudus (Perancis) dan Bruder dari St. Gabriel (Perancis). Diantara kelompok Kongregasi yang beranggotakan sekitar 500 orang terdapat Bruder dari Maastricht (Belanda), Frater dari Tilburg (Belanda) dan Bruder Karitas (Belgia). Selain dari 33 Kongregasi yang telah diakui Vatikan ini, ada banyak Kongregasi lokal Para Bruder yang diakui secara daerah (Keuskupan). Dan sehubungan dengan para Bruder, kita tidak boleh melupakan mereka yang termasuk dalam Ordo Klerus dan Kongregasi, yang tinggal di biara dan Serikat.
Berdasarkan statistik yang diterbitkan pada tahun 2001, berikut adalah beberapa data kira-kira: dari jumlah total 985.906 kaum religius di seluruh dunia terdapat 792.317 kaum religius wanita, 138.619 imam religius dan 54.970 Bruder religius. Dari 54.970 Bruder-Bruder religius ini 21.000 merupakan anggota Tarekat Bruder Religius Kepausan.
Dengan kata lain, kelompok terakhir ini mewakili 38% dari seluruh kelompok para Bruder dimana seluruh kelompok Bruder-Bruder mewakili 28% dari semua religius pria dan 0.05% dari seluruh jumlah kelompok religius.
Singkatnya, para Bruder tetap menjadi minoritas dalam kelompok religius, tetapi sebuah minoritas dengan yang terpisah dan memiliki profil serta identitas yang jelas.
Menurut sejarahnya, kita dapat melihat bahwa sebagian besar Tarekat didirikan oleh imam-imam pedesaan yang ingin memenuhi kebutuhan khusus dari daerah bersangkutan, khususnya di bidang pendidikan. Mereka mencari solusi, yang mereka temukan dengan cara mengumpulkan beberapa pemuda awam beriman. Sebagian dari kelompok-kelompok tersebut tetap aktif hanya didaerahnya saja sedangkan sebagian berkembang ke seluruh dunia. Tarekat yang anggotanya hanya orang-orang Barat sedang mengalami krisis yang parah dan jumlahnya semakin berkurang. Hanya Tarekat yang juga aktif dibelahan dunia Selatan dan Timur yang mengalami kestabilan bahkan pertumbuhan. Mereka mungkin mengambil kesimpulan bahwa tujuan atau obyektif Kongregasi-Kongregasi tersebut tetap relevan di masa kini.
Terakhir, kita sebaiknya juga membahas sedikit mengenai gerakan-gerakan baru yang didirikan yang banyak dari antaranya bersifat awam. Kita belum dapat menganggapnya sebagai bagian dari Tarekat Religius Bruder, tetapi beberapa mungkin akan berkembang ke arah itu dan juga mungkin akan diakui di masa mendatang. Sebagian besar diantaranya mencari suatu keseimbangan antara kehidupan kontemplatif dan apostolik, serta mengambil sikap pewartaan yang kuat. Mereka menciptakan gambaran atau profil baru untuk hidup bakti yang kita kenal sekarang, tetapi bersamaan dengan itu mereka bergantung pada unsur-unsur tradisional kontemplatif, hubungan communion dan mission. Mereka memilih untuk lebih menyolok di dunia, sedangkan kelompok-kelompok yang sudah ada lebih cenderung untuk tidak menonjolkan diri. Kontemplasi dan communio mendapat prioritas lebih tinggi dibandingkan misi mereka, sedangkan kelompok-kelompok yang sudah ada cenderung untuk lebih mementingkan apostolik dan misi mereka. Adalah hal yang baik untuk mempertemukan kelompok-kelompok baru ini dengan kita agar kita juga tergugah untuk menciptakan sebuah profil diri yang lebih nyata dan distinktif bagi kita. Hal ini akan kita bahas lebih lanjut dalam bab-bab berikut.


Daftar Pustaka
  1. Ackermann, Robert, Les religieux, Paris, Centurion, 1988, pp. 281
  2. Agenzia fides, Catholic Church Statistics, Roma , Propaganda Fide, 2004, website
  3. Annuario Pontifico, Roma, Libreri Editrice Vaticana, 2003, pp. 2360
  4. Blondeel, Edouard, Marcellin Champagnat, un coeur sans frontiéres, Namur, Fidélité, 1999, pp. 72.
  5. Cicatelli, Santo, Vie de Saint Camille de Lellis, Paris, Desclée de Brouwer, 1932, pp. 515.
  6. Cornet, Joseph, Leven van de Heillige Jean-Babtiste de la Salle, patroon van alle opvooders. Groot-Bijgaarden, 1983, pp. 150.
  7. De Pue, Jordanus, Geschiedenis Groot Begijnhoof St. Elisabeth Gent en St.. Amandsberg, Leuven, Paters Dominikanen, 1984, pp.56.
  8. Deries, L, Les congrégations religieuses au temps de Napoleon, Paris, 1928, pp. 312.
  9. Geldhof, J. Pelgrims, dulle lieden en vondelingen te Brugge. Brugge, Psychiatrische Kliniek Onze-Lieve-Vrouw, 1975, pp. 355.
  10. Germain, Elisabeth, La vie consacrée dans l’Eglise, Paris, Médiaspaul, 1994, pp.203.
  11. Hohmann, Jan, De Duitse Orde, in Europese Opvoeders, Tianen, 3/84, p. 16 – 18.
  12. Hostie, Raymond, Leven en dood van religieuze instituten, Brugge, EmmaÜs, 1972, pp. 383.
  13. Hurel Daniel-Odon, Guide pour l’histoire des ordres et des congrégations religieuses, France 16-20e siècles. Turnhout, Brepols, 2001, pp. 467.
  14. Index personarum curiarum generalium. Roma, Unione Superiori Generali, 2003, pp. 221.
  15. Kaufman, C. F., The History of the Alexian Brothers: Tamers of Death. New York, Seabury Press, 1976, pp. 234.
  16. Le Bras, Gabriel et Gaudemet, Jean, Le monde des religieux – l’époque moderne (1563 – 1789), Paris, Cujas, 1976, pp. 438.
  17. Liégeois, Axel, Repertorium van het historisch bezit van ke Katholieke Psychiatrische
  18. Instellingen in Vlaanderen. Leuven, Acco, 1984, pp. 194.
  19. Mahler, M., Schetsen uit de geschiedenis en de spiritualiteit van de monniken. Oosterhout, St. Paulusabdij, 1980, pp. 120.
  20. Post, Dr. R. R., De geschiedenis van de oude Kerk, in Handboek van de Kerkgeschiedenis. Utrecht, Dekker en Van de Vegt, 1962, p. 139 – 140.
  21. Smet, Dirk, Stichters historisch bekeken, in Stichters, eigen aan de tijd, eigentijds. Monografie nr. 17, Intercongregationeel Samenwerkingscentrum voor de Gezondheidszorg, 1995. p. 5 – 43.
  22. Stockman, René, De Kerk en het verstoorde leven. Tielt, Lannoo, 1982, pp. 350.
  23. Tyck, Charles, Novices historiques sur les congrégation communauté religieuses, Louvain, Peeters, 1892, pp. 415.
  24. Van Doornik, N. C. M., Franciscus van Assisi, een profeet voor onze tijd. Hilversum, Gooi en Sticht, 1977, pp. 181.
  25. Van Vugt, Joos, Brothers at work. Nijmegen, Valkhof, 1996, pp.. 126.
  26. Vanmaldeghem, A.., Congregatie Onze-Lieve-Vrouw-visitatie te Gent, Visitatie, 1984, pp. 264.
  27. Vicaire, M., H., Dominicus. Brugge, Desclée de Brouwer. 1957, pp. 245.