DOKUMEN BERSAMA PARA PIMPINAN GENERAL KONGREGASI BRUDER

PANGGILAN HIDUP BAKTI BRUDER

Teks ini disusun bersama oleh Panitia yang anggotanya adalah para PEMIMPIN GENERAL KONGREGASI PARA BRUDER SEDUNIA, Roma 1991

© hak cipta ada pada Panitia Pemimpin General Kongregasi 1991

Para Pemimpin General dari Kongregasi Bruder:

Bruder Santa Perawan Maria Belas Kasih (FDM)
Bruder Keluarga Kudus (PSF)
Bruder Karitas (FC)
Bruder Santo Yusuf Cottolengo (FSGC)
Bruder Santo Gabriel (FSG)
Bruder Pengajar Kristiani dari Ploermel (FICP)
Bruder Marist (FMS)
Bruder Sekolah Kristiani (FSC)
Bruder Hati Kudus Yesus (SC)
Bruder SP Maria yg terkandung tak bernoda (FIC)
Bruder Santo Yohanes de Deo (FBF)
Frater SP Maria Bunda Belas Kasih (CMM)



CATATAN:
Dokumen ini secara khusus berisi tentang hidup panggilan bruder dalam tarekat yang anggotanya semuanya bruder, yang dibahas dalam dokumen ini adalah identitas dari bruder dalam tarekat yang anggotanya semua bruder.
Perlu diketahui bahwa ada bruder yang berada dalam tarekat imam yang juga disebut ordo / kongregasi / tarekat CAMPURAN di mana ada anggota imam dan bruder.

KATA PENDAHULUAN


Panggilan menjadi bruder tidak perlu selalu dipahami secara tepat, bahkan tidak dipahami pula oleh mereka yang paling dekat dengan kita. Telahbeberapa tahun lamanya kami berniat menyusun suatu publikasi mengenai panggilan bruder yang khusus itu, suatu publikasi yang disamping bermakna bagi kita sendiri, akan berharga juga bagi Gereja umumnya.

Menyusun dokumen serupa itu menimbulkan sejumlah masalah: dokumen itu harus terarah kepada orang-orang yang amat berbeda kebudayaan dan perasannnya, harus memberikan suatu gambaran umum tentang kehidupan para bruder, dengan mengesampingkan segala aspek khusus, yang di wilayah-wilayah  khusus tertentu merupakan kekhasan kehidupan ini; harus menyediakan informasi dan penjelasan, namun harus tetap singkat juga. Tugas semacam itu sungguh-sungguh, merupakan suatu tantangan, dan kami berterimakasih kepada mereka yang bersedia menanggung penyusunannya.

Pada masa sekarang, masyarakat mengalami perubahan-perubahan yang mendalam, penuh dengan janji bagi umat manusia. Sayang bahwa perubahan-perubahan itu tidak selalu memenuhi harapan yang ditimbulkannya. Meskipun demikian, ada juga tanda-tanda penuh harapan: di mana-mana di dunia ini terasa adanya kebutuhan akan kesatuan dan kesetiakawanan. Sekarang ini, Tuhan memanggil kita, agar kita bersama orang lain, dan setiap orang sesuai dengan bakatnya sendiri, menanggapi kebutuhan-kebutuhan itu, sama seperti Tuhan pernah memanggil para pendiri tarekat kita. Kita sungguh yakin bahwa panggilan kita merupakan jawaban atas kebutuhan dunia, dengan cara kita menamnpilkan diri sebagai bruder: dalam pelayanan kasih atas nama yesus; maka dengan apa saja yang ada pada kita dan dengan apa saja yang dapat kita lakukan, kita memberikan kesaksian tentang kemungkinan adanya suatu persaudaraan dalam dunia yang terpecah-belah ini.

Berdasarkan pengalaman pribadi, kita tahu betapa suburnya hidup kita, dan betapa besarnya kepekaan di antara pria dan wanita pada zaman sekarang ini terhadap panggilan bruder. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa orang yang sulit memahami bahwa bruder dapat memperkembangkan diri seutuhnya, bahwa kita menemukan identitas kita sesungguhnya sebagai bruder tanpa harus menjadi imam, karena kehadiran dan pengutusan bruder di dalam dunia, karena relasi-relasi para bruder yang berdasarkan persaudaraan.

Cara pergaulan bruder dengan setiap orang di mana-mana, ditandai dengan kesederhanaan dan kebebasan, merupakan pengakuan tentang martabat setiap pribadi, dan tentang persekutuan yang ada di antara semua anggota Gereja. Dengan demikian, hidup para bruder memberikan kesaksian mengenai apa yang menjadi inti hidup religius. Seorang Yesuit ternama pernah mengtakan di tengah suatu percakapan akrab, “Hanya Bruder yang dengan cara yang tak dapat disalah-tafsirkan memberikan kesaksian tentang arti hidup religius itu. Jika seorang menjadi iman religius (dalam kongregasi) maka orang cenerung melihatnya sebagai seorang imam,lebih daripada sebagai seorang religius. Kehidupan religius Suster dan Monial menjadi kentara bagi setiap orang, setidaknya dalam situasi Gereje sekarang ini, mereka tidak dapat menuntut imamatnya. Religius Bruder adalah orang yang di antara segala kemungkinan yang terbuka baginya, memilih suatu bentuk kehidupan di dalam Gereja, hanya sebagai religius saja. Siapa saja yang ingin mengerti apakah sebenarnya hidup religius itu, harus melihat kepada para bruder”.

Publikasiini kami persembahkan kepada Anda dengan harapan semoga sungguh bernilai bagi Anda dan bagi orang lain yang Anda ajak ikut membacanya, sehingga publikasi ini akan memrupakan suatu sumbangan demi pengertian yang lebih baik serta demi penghargaan yang lebih besar terhadap panggilan Bruder.

KATA PENGANTAR

Para religius wanita (suster) dan para religius awam pria (bruder) merupakan kelompok yang agak besar dalam Gereja, jumlahnya hampir satu juta orang, terdiri dari 7 % bruder dan 93 % suster. Mereka melanjutkan pengutusan Yesus di dunia 1) dengan cara menjadikan hal mengikuti jejak Kristus sebagai aturan hidup yang paling luhur bagi mereka 2)

Mengenai cara hidup para religius itu, Konsili Vatikan mengatakan, sebagai berikut, “Hidup religius awam (bruder) sungguh lengkap dalam dirinya. Merumuskannya dengan apa yang merupakan kekurangannya berarti bahwa kita sama sekali tidak memahami alasan hidup religius awam. 4)

Paus Joannes Paulus II mengatakan sendiri, “Saya yakin bahwa bentuk hidup relgius ini (bruder), yang dalam sejarah selalu amat berjasa besar bagi Gereja, pada zaman ini masih amat sangat sesuai bagi tantangan kerasulan baru yang dihadapkan pada pewartaan Kabar Gembira” 5)

Kutipan-kutipan ini dapat membantu dalam mengoreksi sikap yang lebih kurang umum tentang para bruder, yang dipandang sebagai suatu bentuk bastar (hibrida): Bruder dipandang bukan imam, bukan awam, melainkan setengah-setengah, yang tidak lengkap. Sebenarnya, hidup religius awam pria (bruder) tidak selalu dimengerti baik di dalam Gereja, tidak oleh hirarki, tidak juga oleh kaum awam. Kami para bruder sendiri pada masa lampau kadang-kadang lebih berusaha membela hidup itu daripada memperdalam pemahanan /pengertian (secara teologis dsb) dari hidup panggilan sebagai bruder.

Hidup Bruder mempunyai arti dan isinya sendiri, sehingga seorang bruder mengatakan, “Saya seorang awam karena saya telah mengatakan suatu pilihan positif. Dengan kata lain: saya ini awam bukan karena tidak boleh menjadi imam, melainkan karena saya mau tetap awam. Pilihan positif yang sama itu berarti bahwa saya senang sebagai seorang bruder sederhana. Saya tidak merupakan seorang BUKAN imam seperti seorang imam tidak merupakan seorang BUKAN awam” 6) Maka, ada bentuk hidup panggilan yang memilih tetap awam. Berhubungan dengan ini, kita baca dalam Lumen Gentium: Sambil memperhatikan struktur ilahi dan hirarki Gereja, status ini bukannya status tengah antara klerus dan awam. Dari kedua pihak, sejumlah orang beriman dipanggil Allah supaya menikmati anugerah khusus dalam hidup Gereja, dan supaya masing-masing dengan caranya sendiri, berguna bagi pengutusan keselamatan yang diemban Gereja”  7)

Lagi pula, Kitab Hukum Kanonik menyatakan: “Menurut sifatnya, status hidup religius tidak bersifat klerikal (tahbisan) atau pun awam”. 8)  Maka, janganlah memandang hidup religius dengan memikirkan panggolongan, pemangkatan, atau promosi, hal yang mudah menjadi kecenderungan manusia. Kiranya orang menganggap keadaan menjadi normal bahwa terdapat imam dalam hidup religius (membiara), dan tiada seorang pun heran tentang hal itu. Namun, sering terjadi bahwa orang belum mengerti mengenai tarekat religius awam pria (hanya beranggotakan bruder)..

Panggilan hidup religius awam merupakan salah satu anugerah Allah kepada Gereja; dan bagi mereka yang telah menerima panggilan itu, hidup relgius awam itu sungguh penuh arti dalam dirinya sendiri. Tugasnya yakni meneruskan karya keselamatan Yesus di dalam Gereja dan dunia: “Supaya orangbuta dapat melihat, orang lumpuh dapat berjalan…. Dan supaya Kabar Gembira Injil dapat diwartakan kepada kaum miskin.  9)

Oleh karena itu, terdapat orang yang menemukan dalam hidup religius, suatu bentuk hidup Kristiani yang paling sesuai dengan mereka, dan hidup tsb dapat menambahkan daya hidup pada baptisan sebagai kaum awam, yakni dengan mempersembahkan dirinya kepada Tuhan (kemudian diberi istilah teologis PANGGILAN HIDUP BAKTI), dan dengan merelakan dirinya secara menyeluruh bagi pengutusan gerejawi, yang secara konkret ditetapkan oleh karisma kongregasi atau ordonya.

1.     PERKEMBANGAN HIDUP RELIGIUS AWAM DALAM GEREJA MENURUT SEJARAH

Sesudah pengalaman Pantekosta, para anggota persekutuan Kristiani perdana mengamalkan hidup menurut Injil, dengan hidup dalam persekutuan, bersatu erat terarah kepada Tuhan, dan dalam suasana persaudaraan. Kasih persaudaraan harus menjadi pedoman, yang menyatakan bahwa mereka menampilkan diri sebagai umat Kristiani, sebagai murid Yesus. Maka, hal itu selalu menjadi teladan otentik mengenai hidup religius: dalam persekutuan mempraktekakan ajaran Yesus, dengan Sabda Bahagia sebagai acuan bagi hidup pribadi dan hidup bersama.

Para angngnota persekutuan Gereja perdana disebut ‘santo’, ‘murid’, ‘yang dipanggil’, ‘saudara’. Mereka dipilih oleh Kristus, dan menajdi umat yang ditandai oleh cara mengikuti Yesus. Begitulah Gereja dilahirkan, dicurahi sepenuhnya dengan Roh Pantekosta. Berhubungan dengan ini, teks Alkitab  1 Petrus 2: 9 sangat berarti, yaitu teks yang digunakan dalam bab 2 Lumen Gentium sebagai titik tolak: “tetapi, kamulah bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, umat kepunyaaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terangnya yang ajaib”. Berdasarkan teks itu, Lumen Gentium terus memperkembangkan kesatuan umat Allah yang sama itu, dengan cara mendasarkan kesatuan itu atas panggilan bersama yang diterima oleh semua umat dalam sakaramen baptis dan krisma, dan atas pengikutsertaannya dalam jabatan rangkat tiga Kristus, yaitu jabatan imam, nabi dan raja. Dalam Gereja Purba, rasa terpanggil dianggap sebagai prinsip dasar.

Sejak permulaan, Gereja, di dalamnya terdapat bermacam-macam cara pelayanan dalam Gereja, dan bermacam-macam bentuk tanggungjawab, baik dalam hubungan dengan struktur hirarkinya maupun dengan karisma-karisma dan jabatan yang bermacam-macam, maka Gereja menjadi tempat yang memberikan keleluasaan kepada daya pendorong batin dari Tuhan dan dari RohNya. Semua jabatan gerejawi yang dipandang sebagai pelayanan hirarkis dan karismatis mempunai arti sendiri sepenuhnya dalam Gereja Purba, tanpa pertentangan antara keduanya itu. 10)

Sejak permulaan, kita memandang Gereja sebagai umat Allah, yang susunannya ditentukan oleh jabatan-jabatan yang diadakan, jika kebutuhan kebutuhan baru harus dipenuhi. Baru dalam surat St. Klemens (40: 6) timbullah kata laikos (awam) untuk mendefinisikan orang beriman yang biasa dan untuk membedakannya dari pemangku jabatan yaitu klerus (imam). Agaknya hal itu membuktikan adanya suatu Gereja yang dalam keseluruhannya berjabatan, dan yang terdiri dari beberapa persekutuan yang disusun, dibimbing dan diberi inspirasi oleh suatu kewibawaan yang berwewenang.

Meskipun sejak permulaaan terdapat bentuk-bentuk tertentu hidup bagi Tuhan dalam Gereja. 11) namun nidup religius seperti yang kita hayati, baru timbul ketika kekuatan Pantekosta yang seharusnya menggerakkan manusia untuk kembali kepada yang hakiki dan fundamental dalam Gereja telah padam. Hidup Religius tidak perlu lagi ketika “semua orang Kristiani merupakan religius”. 12)

Namun, ketika hidup religius muncul, peristiwa itu terjadi dalam latar-belakang awami. Hidup religius itu cocok dengan kata “laikos” yang berarti “orang yang hidup bagi Tuhan”, yang dibedakan dari orang profan. Orang religius awam merupakan orang yang dipanggil untuk hidup bagi Tuhan, yang dipilih untuk mengikuti Yesus, yang telah menyatakan kesanggupannya untuk menjadi tanda dan sakti “kesucian bagi dunia”. 13)  Paus Joannes Paulus II telah menyatakan, “Hidup religius telah didirikan dalam bentuk awaminya yang khas. Hidup itu timbul dari kerinduan sekelompok orang Kristiani yang beriman untuk menuai buah yang semakin berlimpah dari rahmat pembaptisan, dan supaya mereka, dengan jalan mengikrarkan prasetia / kaul Injili, dapat membebaskan diri dari rintangan yang mungkin dapat menjauhkan mereka dari cinta yang menyala dan dari kesempurnaan pembaktian ilahi” 14)

Sebagai kepastian sejarah, telah ditentukan bahwa hidup religius awam telah terjadi sebelum timbul segala bentuk hidup religius yang lain. Oleh karena itu, telah dikatakan bahwa hidup religius awam merupakan hidup religius yang sebenarnya. Juga berarti bahwa bentuk-bentuk hidup religius awam tertentu timbul pada saat-saat dibutuhkan dalam sejarah Gereja dan msyarakat. Hal itu terjadi misalnya dengan Ordo Fransiskan pada abad ke 13, Kongregasi Bruder St. Yohanes de Deo pada abad ke 16, Bruder Sekolah Kristiani pada abad ke 17, dan sejumlah besar kongregasi bruder yang mengabdikan diri pada pendidikan Kristiani pada abad ke 19. Kami dapat menambah jumlah itu dengan berbagai kongregasi yang didirikan pada akhir-akhir ini, begitu pula penemuan kembali hidup monastic awam (biara pertapaan awam).

Jika kita boleh menentukan bahwa perkembangan hidup religius awam merupakan suatu bukti kekuatan dan kebebasan Roh yang dinyatakan sepanjang abad dalam kehidupan Umat Allah. Maka kita dapat menentukan juga bahwa dalam zaman itu terjadilah juga keadaan sukar, ketidak pastian, dan ancaman.

Meskipun hidup religius awam mengembangkan semangatnya sendiri dalam Gereja dan dalam dunia, namun para bruder tidak selalu mengetahui bagaimana mereka harus mendudukkan tempatnya yang layak dalam Gereja dan masyarakat itu. Setiap persekutuan Kristiani, juga setiap persekutuan religius, berada dalam suatu proses pertumbuhan dan perkembangan. Hal itu berlangsung juga dengan persekutuan-persekutuan Gereja perdana. Lama-kelamaan mereka harus belajar mengarahkan diri kepada Injil, dengan risiko membuat kesalahan, seperti dibuktikan dalam Kisah Para Rasul, dalam naskah-naskah apokrif,dan dalam naskah-naskah antara zaman kedua Kitab Perjanjian lama dan baru. Mengarahkan diri kepada Injil berarti turut serta dalam proses penginjilan kembali atau pengkristenan kembali. Jika kita memperhatiakan perkembangan hidup religius melalui seluruh sejarah, maka kita dapat membedakan tiga macam bahaya yang telah dialami dan juga setiap saat bias terjadi kembali.

-         KECENDERUNGAN AKAN SAKRALISASI RELIGIUS AWAM. Kecenderungan itu muncul sejajar dengan proses klerikalisasi dalam Gereja, yang menyebabkan bahwa jabatan tahbisan telah diberi prioritas. Kecenderungan klerikalisasi ini pernah terdapat juga dalam hidup bruder, mula-mula dalam hidup monastic (biara kontemplatif), kemudian juga dalam bentuk tertentu dari hidup bruder yang pernah mulai dalam bentuk ke arah semakin secular. Soal kekurangan imam mendorong beberapa religius awam / bruder untuk merelakan diri bagi tugas imamat itu. Beberapa kongreegasi religius yang mengabdikan diri pada kerasulan, mengambil alih beberapa aspek kehidupan monastic. Sebenarnya, sejarah memperlihatkan bahwa izin adanya bruder anggota kongregasi menerima tahbisan imamat itu demi pelayanan persekutuan para bruder itu sendiri, menyebabkan klerikalisasi kanonik dari ordo dan kongregasi yang dari dahulu mulai dalam bentuk religius awam. Mungkinkah sekarang ini juga, meskipun dengan segala upaya pencegahan, bahwa terjadi suatu gejala yang kini disesali dalam kongregasi yang kemudian menyebut dirinya klerikal, yaitu bahwa mereka tidak dapat kembali kepada keadaan awal mereka sebagai kongregasi religius awam, karena kekuatan tradisi yang mengubah status legal mereka?

-         KECENDERUNGAN AKAN SEKULARISASI. Keterkaitan pada kegiatan profan dan suasana masyarakat masa kini membawa serta bahaya sekularisasi terus menerus dari hidupnya. Bahkan ada bahaya bahwa mereka akan kehilangan alasan hidupnya sendiri, jika mereka kehilangan motivasi panggilannya, yang merupakan dasar, baik dari identitasnya maupun dari kegiatannya.

-         KECENDERUNGAN AKAN PROFESIONALISME. Kecenderungan ini muncul dari apa yang telah dikatakan di atas ini. Jika religius awam tidak menyadari lagi tujuan-tujuan yang mendasari penggilannya, maka dapat terjadi bahwa ia akan mencari dan menemukan kepastian dan kebahagian pribadinya dalam kemahiran jabatan, yang mungkin untuk sementara dapat memberikan arti kepada hidupnya.  Jika seorang bruder tidak lagi melihat kenyataan panggilan yang mendorongnya untuk memilih hidup religius awam, maka bruder itu dengan mudah dapat sampai terhanyut dalam suatu krisis identitas, dan krisis itu selanjutnya dapat mengakibatkan ketidap pastian pribadi. Jika karisma itu telah menyempit menjadi pelaksanaan suatu jabatan atau hanya suatu kewajiban saja untuk berbuat baik terhadap orang lain, maka panggilan Roh Kudus yang ingin membaharui segalanya menjadi kabur. Okarena itu, dalam peredaran sejarah oleh penyelenggaraan ilahi, tampillah pembaharu-pembaharu bijaksana, kapitel-kapitel pembaharuan diadakan, dan Tuhan membangkitkan bermacam-macam orang PENDIRI baru.


Gereja telah menyadari bahwa karisma awam juga terkena risiko penyimpangan. Jika Gereja berbicara tentang kemungkinan untuk mentahbiskan beberapa anggota bruder bagi liturgy dan pelayanan sakamen dalam intern kongregasi, maka secara tak disadari ia mendorong agar sifat khas religius awam menjadi kurang tegas. “Konsili Suci menegaskan bahwa tidak ada halangan dalam persekutuan para bruder, yang tetap memertahankan cirri khas awamnya, berdasarkan keputusan kapitel umum, beberapa anggota bruder diberi tahbisan suci, untuk memenuhi kebutuhan pelayanan imama di dalam komunitas-komunitas mereka”. 15)

Kongregasi-kongregasi bruder yang memasukkan imamat (dengan mentahbiskan beberapa orang brudernya), telah melakukan hal itu dengan penuh kewaspadaan.


2.     BEBERAPA BENTUK HIDUP RELIGIUS AWAM DALAM GEREJA PADA MASA SEKARANG


Seperti telah diuraikan di depan, hidup religius / membiara dalam Gereja timbul dalam lingkungan awam. Tetapi kami merasa perlu untuk menjelaskan bahwa terdapat dua macam kaum awam:

KAUM AWAM DI DALAM DUNIA, yang di dalam naskah Konsili Vatikan dirumuskan sbb.: “Semua orang Kristiani selain anggota imamat tahbisan dan status biarawan, yang disahkan oleh Gereja, yakni umat beriman yang dipersatukan dengan Kristus oleh pembatisan, dilantik sebagai umat Allah dan turut serta dengan caranya sendiri dalam tugas kristus sebagai imam, nabi dan raja, lalu melaksanakan pengutusan seluruh umat Kristiani dalam Gereja dan dalam dunia sesuai dengan tanggungannya”. 16)

“Berdasarkan panggilan khasnya, awam bertugas mencari Kerajaan allah dengan mengusahakan hal-hal duniawi dan mengaturnya sesuai dengan kehendak Allah. Mereka hidup dadlam dunia, yakni dalam semua dan dalam setiap jabatan serta kegiatan dunia, dan dalam situasi hidup keluarga dan hidup kemasyrakatan yang biasa, yaitu situasi yang meresapiseluruh keberadaan mereka. Di sana mereka dipanggil Allah agar – sambil menjalankan tugas khasnya dibimbing oleh semangat Injil – mereka menyumbang bagi pengudusan dunia dari dalam laksana ragi”. 17)

KAUM AWAM YANG MEMBAKTIKAN DIRI KEPADA ALLAH,  yang terdiri dari dua kelompok yang berbeda::

Religius awam laki dan perempuan, yang dalam dokumen Konsili Vatikan – Perfectae Caritatis 1 dan 10 dilukiskan sebagai berikut: “Sejak awal mula Gereja, ada pria dan wanita yang berhasrat mengikuti Kristus dengan lebih bebas dan mencontohNya lebih dekat dengan mengamalkan nasehat-nasehat Injil. Mereka menghayati hidup yang dibaktikan kepada Tuhan, masing-masing menurut caranya sendiri”.   “Hidup religius awam baik pria maupun wanita merupakan suatu status pengamalan nasehat-nasehat Injil yang lengkap dalam dirinya:

Anggota Institut Sekulir, yang bentuk hidupnya merupakan pengamalan nasehat-nasehat Injil yang benar dan lengkap di dunia, yang diakui oleh Gereja. 18)

Kedua kelompok awam tsb menghayati status mereka dari titik tolak yang berbeda, yang mengandaikan bahwa posisinya dalam Gereja juga berbeda. Mengenai relasinya dengan hirarki, para religius awam, berada pada tingkat yang sama dengan kaum awam lainnya. Tetapi, sekaligus karena pengabdiannya secara religius, mereka merupakan anggota status hidup religius, dan memiliki juga sifat-sifat khas dari setiap bentuk hidup religius, yang tandanya bersama yaitu aturan hidup tertingginya, yakni mengikuti Kristus, seperti dianjurkan dalam Injil, dan dinyatakan dalam konstitusi kongregasinya. 19)

Namun, dalam rangka hidup yang dibaktikan kepada Tuhan, terdapat berbagai cara dalam hal mengikuti Yesus dan melanjutkan warta keselamatanNya. Dalam Lumen Gentium dirumuskan sebagai berikut: “Hendaknya para biarawan-biarawati memperhatikan dengan cermat, agar melalui mereka, Gereja benar-benar makin lama makin lebih menampilkan Kristus yang berdoa di bukit, atau yang mewartakan Kerajaan Allah kepada banyak orang, yang menyembuhkan orang sakit atau cacat, atau yang mentobatkan orang-orang berdosa, yang memberkati anak-anak, yang berbuat baik kepada semua orang, dan yang selalu taat kepada Bapa yang mengutusNya, baik kepada umat beriman maupun kepada mereka yang tidak beriman”. 20)

Para religius awam ikut sertadalam segala fungsi tersebut menurut karisma khusus yang dikaruniakan kepda setiap persekutuan / kongregasi religius. Di dalam hidup para bruder sendiri terdapat berbagai cara hidup yang bergantung pada dorongan Roh, yang tidak pernah berhenti menimbulkan keaneka-ragaman dan pembaharuan. Ada para bruder dalam biara monastic dan dalam komunitas ordo pengemis. Pada awal berdirinya institut / tarekat itu dianggap normal terdiri dari anggota awam, dan tidak ada cara hidup lain dalam tarekat tsb. (maksudnya tidak ada dalam tarekat itu yang ditahbiskan).Tetapi. lama kelamaan, tarekat itu mengalami proses klerikalisasi, sehingga akhirnya para bruder awam hanya melaksanakan karya rumah tangga dan karya lain. Tetapi, sekarang ini, terutama dalam baberapa puluh tahun terakhir, tarekat-tarekat yang sama itu telah mengenal ‘pilihan sebagai religius awam’ dengan jaminan bahwa pilihan itu tidak merupakan rintangan bagi karya intelektual atau untuk kemungkinan anggota bruder untuk dipilih dalam jabatan yang menuntut pertanggung-jawaban nomastik atau konventual. Kitab Hukum Kanonik Gereja memuat peraturan yang melindungi sifat awam dari tarekat-tarekat itu. Maka, Hukum Gereja hendak mencegah bahwa jabatan imamat melampaui batas bidang yang layak baginya.

Ada bruder dalam kongregasi imam religius (imam reguler). Sebenarnya, dan menurut hokum, kelompok-kelompok itu telah menjadi klerikal sejak berdirinya, klerikal karena karismanya yang khusus. Imamat merupakan unsure hakiki dari karisma dan pengurutsan mereka. Sejak permulaan terdadpat juga bruder dalam tarekat itu, yang bekerja sebagai pembantu imam dan melaksanakan juga kegiatan jabatan yang sesuai dengan pengutusan yang khas yang berkaitan dengan karisma dalam tarekat tsb.

Akhirnya, ada bruder dalam tarekat religius awam. Tarekat ini sejak berdirinya adalah beranggotakan bruder awam dan tetap demikian sampai sekarang. Beberapa tarekat semacam ini telah memasukkan pentahbisan imamat bagi sebagian brudernya, sesuai dengan dokumen Konsili Vatikan II - Perfectae Caritatis 10 b. Maka mereka mengenal bruder yang ditahbiskan, namun tarekatnya tetap memperhatikan sifat keawamannya (kebruderannya).


3.     ASPEK-ASPEK AZASI HIDUP PARA BRUDER

Sama seperti setiap bentul dari hidup religius, maka hidup para bruder pertama-tama merupakan suatu undangan untuk mengamalkan Injil secara intens, radikal, umum, dan dalam persekutuan. Hidup secara demikian berdasarkan sabda dan teladan Tuhan Yesus. Hidup religius bukanlah suatu “jalan tengah” antara kaum klerus dengan awam, dari kedua pihak, Allah memanggil beberapa orang beriman untuk menikmati anugerah khusus panggilan dalam hidup Gereja, dan agar setiap pihak dengan caranya sendiri akan bermanfaat bagi pengutusan keselamatan Gereja. 21) Maka, tujuan hakikinya yakni ‘mengikuti Kristus’ berdasarkan suatu pilihan sadar bagi status awam. Hal itu berarti bahwa pilihan menjadi bruder bertujuan agar Yesus dan kabar keselamatanNya dapat merupakan permulaan, jalan, dan tujuan dari seluruh kepribadiannya. Penyerahan diri dalam pembaptisannya diberi suatu dinamika dan kegiatan baru oleh pembaktian religiusnya, yang diamalkannya dalam persekutuan gerejawi, untuk melanjutkan pengutusan Yesus.

Mungkin hidup bruder telah mengalami suatu krisis identitas yang lebih besar daripada bentuk hidup religius hidup yang lainnya. Mungkin dapat terjadi bahwa karya professional seorang bruder akan menjadi lebih bernilai dan bermotivasi dalam hidupnya dari pada kenyataan bahwa ia dipanggil oleh Tuhan. Dengan jadi bruder diandaikan bahwa ia menjalankan suatu jabatan professional. Panggilan mempengaruhi manusia dalam hakikatnya yang paling dalam, karya yang dilakukannya merupakan “perwujudan” yang muncul dari keberadaannya sebagai bruder. Oleh karena panggilan berasal dari Roh, maka panggilan itu hakekatnya bersifat mencipta, kreatif; sebaliknya, karya dapat dipengaruhi oleh automatisme yang khas bagi seorang yang menyembunyikan diri di belakang kemahiran professional. Karya professional manapun yang dilakukan oleh seorang bruder, harus sesuai dengan inspirasi yang muncul dari panggilan atau karismanya. Justru kekuatan karismanya harus menentukan karya yang dilakukannya, dan harus menanggapi seruan dunia terhadapnya, suatu seruan yang berasal dari kebutuhan dunia yang paling mendesak. Kesetiaan kepada karisma melampaui tuntutan kontrak professional. Harus diperhatikan, agar kesetiaan kepada Roh diberi jalan seluas-luasnya, dan supaya para bruder lebih setia kepada Roh dari pada kepada tuntutan professional manapun, betapapun perlunya tuntutan itu.

Di bawah ini, kita akan lebih mendalami aspek-aspek azasi kehidupan bruder dan tanda-tanda paling khas daripadanya. Tiada satu pun dari tanda itu merupakan tanda satu-satunya yang khas bagi kehidupan bruder, namun kita percaya juga bahwa dalam keseluruhannya, tanda-tanda itu menghasilkan suatu profil yang sangat nyata, sehingga para bruder dapat dimengerti keberadaannya dalam Gereja.


3.1.          PEMBAKTIAN RELIGIUS SEBAGAI UNGKAPAN LENGKAP DARI PENYERAHAN DIRI MELALUI PEMBAPTISAN DAN IMAMAT UMUM


PEMBAKTIAN RELIGIUS DEMI PANGGILAN, merupakan suatu undangan pribadi pada tingkat yang paling dalam dari kesadaran seseorang. Pembaktian itu mengubah hidupnya secara radikal, tidak hanya dalam kaitan dengan keadaan luar saja, melainkan sampai ke tingkat hati yang paling dalam, dan mengubahnya menjadi manusia baru, demi Kerajaan Allah. Paus Joannes Paulus II telah mengungkapkan arti “hidup religius awam, yang secara istimewa merupakan suatu tanda nyata dari kekudusan pengantin Kristus, memberikan sumbangan dengan tepat, jitu, dan otentik, kepada perkembagan pengutusan Gereja dengan cara penginjilan dan banyak bentuk pembaktian diri. Hidup religius dalam gereja tak dapat dibayangkan tanpa memikirkan semangat pengaggilan awam yang istimewa ini, yang kini masih menarik dan dapat diikuti oleh banyak umat awam Kristiani yang membaktikan diri di dalamnya sebagai wujud mengikuti Kristus dan pengabdian kepada umat manusia” 22)

Sebagai tanggapan atas prakarsa Allah dalam panggilan dan pilihan, maka oleh prasetia religius, manusia menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah. Perbuatan ini yang menentukandan tak terbatalkan dalam dirinya merupakan pernyataan yang baik sekali, suatu perwujudan lengkap dan suatu tanda nyata dalam Gereja, mengenai imamat umum umat Allah karena pembaptian. Sungguh sangat berarti bahwa prasetia religius itu pada masa ini dilaksanakan / diikrarkan dalam Perayaan Ekaristi.

Namun, kami tidak berbicara tentang satu perbuatan saja, Allah tidak berhenti memanggil manusia dan manusiaberusaha mengerti dan menanggapi undangan itu. Seluruh hidup seorang religius merupakan suatu persembah hidu 23), yang berhubungan dengan kurban Kristus.

Pembaktian religius menjadi obyek atau isi panggilan itu, dan ditetapkan lewat prasetia / kaul-kaul, yakni penyerahan dan ikatan lengkap dengan Allah dan dengan rencanaNya. Di sini kita sebut “prasetia” dan dengan prasetia itu kita mengikatkan diri dalam hidup selibat, miskin dan taat. Dengan demikian, kita menjadi saksi dan nabi mengenai dunia yang akan datang (ekskatologis), atau dengan kata lain saksi dan kenabian nilai-nilai Kerajaan Allah, yang harus menjadi pola tingkah laku kita dalam dunia sekarang ini.

Pembaktian itu memberi manusia arah baru menuju tujuan yang semula belum merupakan bagian dari rencananya, yaitu rencana yang menuntut perubahan dalam acara yang disusun setiap orang bagi dirinya sendiri. Kita mulai mengalami kebenaran kata-kata itu: “Jalanmu bukanlah jalanKu” 24). Kita diundang masuk ke dalam suatu dunia baru, dan dengan cara khusus menjadi bagian dari dunia itu karena kita menginjak lapangan kegiatan Tuhan sebagai akibat dari Sabda Bahagia Yesus.

Pembaktian religius memuat juga suatu integrasi terus-menerus dengan umat Allah. Allah mengikat suatu perjanjian dengan bangsaNya dan hal itu mendorong reeligius untuk menerima suatu cara hidup yang sangat khas, untuk menghadirkan allah dalam kelangsungan ejarah dunia. Pembaktian religius menyebabkan juga bahwa Allah masuk ke dalam manusia dan dengan nyata menghadirkan Roh, yang hendak melanjutkan karya Kristus, dan dengan cara demikian mengubah dunia dalam semangat Injil.

Bruder merupakan orang yang mencari Yang Mutlak: ia mengutamakan keradikalan, penyerahan diri berlandaskan pembaptisannya. Dengan jalan mengikuti Yesus Kristus dalam hidup selibat, miskin dan taat; ia menguatkan hidup rohaninya dengan doa, Ekaristi, Sabda Allah, dengan secara kritis membaca tanda-tanda zaman, dan dengan keterlibatannya dalam dunia untuk melanjutkan karya penyelamatan Yesus secara actual / yang dibutuhkan.

Namun, pembaktian religius itu sebenarnya tidak menambah sesuatu yang sudah ada dalam penyerahan diri dalam pembaptisan, meskipun cara pengamalannya disertai unsur-unsur khusus dan khas. Di sini kita menghadapi suatu panggilan istimewa dari Tuhan supaya kita hidup dalam realitas dan berdasarkan relalitas masa kini, yang berarti suatu cara hidup istimewa, dalam hubungannya dengan dunia baru dari Injil. Hal itu berarti suatu cara hidup baru, yang di dalamnya imamat umum dihayati dengan latar belakangnya: hidup bersama dalam Gereja, yang di dalamnya pengalaman ilahi (pengalaman Allah) amat sangat penting. Pengutusan yang dilakukan bruder merupakan konsekuensi logis dari segalanya itu. Akhirnya, hidup itu merupakan suatu hidup yang oleh Tuhan didorong ke arah tertentu, demi keselamatan dunia.Hal itu berarti bagi kita bahwa hidup religius “secara khusus bersifat nabiah”.

Oleh karena itu, hendaklah bruder berusaha memperkembangkan hal berdoa menjadi suatu sikap hidup sehari-hari, sehingga doa dan hidupnya dapat saling memperkaya. 25) Paus Paulus VI mendorong para religius untuk menjadi pakar dalam hal doa. 26) Pengalaman tentang Allah ini mengakibatkan suatu hidu menurut Sabda Bahagia, karena “dipanggil Tuhan, mereka mengikat diri untuk mengikuti Dia secara total, dengan mempersatukan diri dengan dia sesuai dengan Sabda Bahagia 27). Jika religius sungguh menyadari penyerahan dirinya dalam pembaptisan yang merupakan panggilannya, maka ia menempuh jalan untuk mencapai tujuan panggilannya.




3.3.2.          HIDUP DALAM PERSEKUTUAN SEBAGAI TANDA KESATUAN PERSAUDARAAN DALAM GEREJA


Persekutuan merupakan tempat untuk mengamalkan pembaktian religius dan untuk mencapai perkembangan seutuhnya. Religius mengikat dia kepada Allah karena pembaktiannya, dan sekaligus ia menjadi anggota ordo atau kongregasi religius, supayaia berpijak pada realitas ini dan menghayati hidup dalam suatu persekutuan, dengan memberikan kesaksian tentang kehadiran Kerajaan Allah, mewartakan Kerajaan itu, dan untuk ikut serta dalam kedatangannya. Dengan hidup dalam suatu persekutuan tertentu, bersatu hati di sekeliling Sabda Allah dan Ekaristi, maka para religius menerima suatu perutusan tertentu bersama untuk mengubah dunia dengan jalan meneruskan pengutusan Kristus yang menyelamatkan.

Hidup dalam persekutuan para religius di dalam Gereja mrupakan suatu pernyataan yang konkret tentang martabat yang khas bagi semua anggotanya, kesamaan dasar sebagai anak Allah, sebagai orang yang terpanggil, dan sebagai orang yang telah membaktikan diri kepada allah. Karisma, fungsi, dan tugas mereka tunduk kepada kesamaan dasar itu, yang makin nampak jelas dalam persekutuan yang terdiri dari religius awam melulu.

Persekutuan religius didasarkan atas Sabda Allah yang mengundang para anggota untuk mengikuti Yesus, dengan melepaskan suatu cara hidup tertentu dan mengikuti cara hidup lain, yakni hidup dalam persekutuan. Sabda Allah mengumpulkan semua anggota, dan sabda itu memberikan pertumbuhan kepada persekutuan dan yang harus selalu diperhatikan. Mereka merupakan persekutuan yang terdiri dari orang-orang terpanggil untuk hidup bagi Kerajaan Allah.

Persekutuan religius itu terutama bernilai sebagai tanda. Yang paling fundamental bukanlah jabatan professional para anggotanya, melainkan sifatnya sebagai tanda, karena bagi dunia ia merupakan tanda bahwa persaudaraan telah datang, meskipun dalam suatu dunia yang penuh dengan persaingan, dan bahwa hidup selibat membekali para religius untuk sepenuh-penuhnya mengasihi Allah dan sesama. Persaudaraan yang diamalkan seperti itu bermuara menjadi pujian kepada Allah dalam doa bersama. Justru karena hidup selibat demi Tuhan, maka para religius dapat mengulurkan tangannya untuk menghampiri orang lain dan berbagi dengan mereka.

Persekutuan religius merupakan tugas yang amat luhur, yaitu semua anggota hendaknya mengikuti Yesus, seperti Gereja melaksanakan pengutusan Pantekosta. Persekutuan religius bukan pertama-tama fungsional dan azas manfaat, melainkan lebih pada kenabian. Yesus mutlak bagi hidup religius, maka hidup itu juga merupakan suatu anugerah Allah (Allah memberi kita anugerah untuk hidup bersama dan menjadi bruder) – yang menuntut suatu sikap tetap terbuka. Akhirnya, anugerah itu harus merupakan suatu unsur hakiki / penentu dari setiap rencana hidup pribadi.


3.3.          “PENGUTUSAN GEREJAWI” PARA BRUDER SEBAGAI KEIKUT SERTAAN PELAYANAN GEREJA

3.3.1.   Pengutusan yang dinyatakan dalam jabatan-jabatan awam sebagai tanda dari Gereja, yang seluruhnya terkait dalam pelayanan.

Para anggota tarekat bruder berpartisipasi dalam pengutusan pastoral Gereja dengan jalan melaksanakan jabatan awam tertentu. Mengenai hidup bruder, Konsili Vatikan II menerangkan: “Bentuk hidup yang amat bermanfaat bagi tugas pastoral Gereja, dalam mendidik angkatan muda, merawat orang sakit, dan menjalankan pelayanan-pelayanan lain, sangat dihargai oleh Konsili Suci. Konsili mengukuhkan para anggotanya dalam panggilanNya, dan mengajak mereka untuk menyesuaikan kehidupan mereka dengan tuntutan-tuntutan zaman dewasa ini”. 23)

Pelayanan hirarki dan klerus tidak merupakan keseluruhan Gereja. Gereja pasti tidak akan lengkap tanpa kaum awam, yang memiliki tempat dan perutusan sendiri. 29)

“Gereja belum benar-benar berakar, belum sepenuhnya hidup, belum pula menjadi tanda Kristus yang sempurna di antara manusia, apabila bersama dengan hirarki belum ada dan belum giat bekerja juga kaum awam yang sejati”. 30)

Dari sudut sejarah mungkin menarik jika kita ingat, bahwa sudah sejak tahun 1954, delapan Prokurator Jenderal dari Kongregasi Bruder yang memberikan pengajaran, mengarahkan suatu amanat kepada Sri Paus, berkaitan dengan hal-hal yang menimbulkan keragu-raguan mengenai pembaktian kerasulan para bruder. Di dalam amanat itu, mereka memohon dengan hormat dan rendah hati agar Sri Paus Pius XII menjawab melalui surat kepada Kardinal Valerio Valeri, Prefek Kongregasi Religius, dan dalam surat itu beliau menekankan pentingnya pengutusan para bruder dalam pendidikan kaum muda: “Kami bergembira bahwa religius itu secara aktif dan penuh kegiatan mengabdikan diri kepada tugas yang dipercayakan kepada mereka, tugas yang dapat merupakan suatu pertolongan yang sangat berarti bagi Gereja, bagi kehidupan keluarga, dan bahkan bagi negara. Hal itu sangat penting, karena kaum muda merupakan harapan masa depan. Maka, hendaknya tak seorang pun memandang rendah anggota Tarekat Relgius bruder dengan dalih bahwa mereka itu bukan imam, atau meremehkan karya kerasulannya”. 31)

Pernyataan seperti itu menitik beratkan sifat kerasulan kongregasi para bruder, dengan membuktikan secara jelas bahwa pengutusan merupakan suatu unsur hakiki dari pelayanan Gereja, dan bahwa imamat umum orang yang dibaptis berkaitan erat dengan ibadah dan kerasulan. 32)

Baik para religius awam masing-masing maupun persekutuan yang didirikannya termasuk kaum pengabdi yang merupakan Gereja, yang meneruskan pelayanan keselamatan yang telah dimulai oleh Yesus Sang Juru Selamat: “Pergilah, dan katakanlah kepada Yohanes, apa yang kamu lihat dan kamu dengar yaitu orang buta melihat, orang lumpuh berjalan,orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan, dan kepada orang miskin diberitakan Kabar Baik”. 33)

Dilihat secara demikian, maka kita dapat melihat pentingnya inspirasi ilahi yang diterima oleh berbagai Pendiri Kongregasi bruder untuk memperkaya Gereja dengan pelayanan awam, guna melanjutkan karya keselamatan Kristus.

Paus Paulus VI mengakui sumbangan Tarekat Bruder kepada tugas perutusan Gereja sebagai berikut: “Berkat pembaktiannya, mereka bersedia dengan cara utama dan bebas meninggalkan segalanya untuk pergi mewartakan Injil, bahkan sampai ke ujung bumi. Mereka sigap bertindak, dan kerasulan mereka sering ditandai oleh sifat yang otentik, suatu berkat yang pantas dikagumi. Merreka sungguh baik hati, sering mereka merasul di daerah misi yang paling jauh, dan mengambil risiko yang paling besar bagi kesehatan dan bahkan bagi hidup mereka. Sungguh, Gereja sangat berhutang budi terhadap mereka ….” 34)

Pelayanan imam (yg ditahbiskan dari antara bruder untuk keperluan intern tarekat bruder) sangat dikehendaki, tidak karena kekurangan imam tahbisan, melainkan karena dengan demikian dinyatakan bahwa seluruh Gereja dipanggil untuk melakukan pelayanan. “Pelayanan oleh kaum awam dibutuhkan bagi seluruh persekutuan, bahkan jika sekiranya jumlah imam melebihi kebutuhan, karena masalahnya bukanlah untuk menggantikan imam, melainkan untuk mewartakan keselamatan: dan hal itu bukanlah sesuatu yang bersifat klerikal, melainkan bersifat gerejawi” 35) Seruan Postsinodal “Christifidelies Laici” menyatakan pengikut sertaan semua anggota Gereja kepada pengutusan: “Pengutusan keselamatan Gereja di dalam dunia tidak dilaksanakan oleh klerus saja berkat sakramen imamat, melainkan juga oleh semua orang beriman awam: karena pembaptisan dan panggilannya yang bersifat khas, mereka memang ikut serta sekedar kemampuan masing-masing, dalam tugas Kristus sebagai imam, nabi dan raja” 36)

Kenyataan bahwa kaum beriman merupakan “Umat Allah yang sedang berziarah”, menuntut tentu mengalami aneka situasi karena banyaknya pelayanan dan karisma dalam Gereja. Seluruh Gereja bersifat pelayanan dan semua anggota mengambil bagian dalam tugas-tugasnya. Seluruh Gereja terpanggil untuk pembaktian. Para bruder ikut serta dalam pembaktian itu sesuai dengan identitasnya sendiri, dalam persatuan dengan Gereja dan di bawah kewibawaannya. “Jasa khusus yang harus diberikan oleh hidup religius ialah bersatu padu dalam pelayanan uskup, karena uskup diberi kekuasaan untuk mengharmoniskan dengan pembaktian Gerejawi dari aneka panggilan dan karisma umat Allah di keuskupannya”. 37)

“Pelayanan yang diberikan oleh kaum awam berdasarkan motivasi yang kuat, yaitu motivasi teologis sacramental, sejauh motivasi itu berakar dalam pembaptisan dan krisma, suatu motivasi eklesiologis, karena berasal mula dalam kenyataan bahwa Gereja mengaggap dirinya sebagai sakramen dan pelayan, suatu motivasi pastoral, karena sebagian besar pelaksanaan pengutusan Gereja bergantung pada pelaksanaan pelayanan itu. Pelaksanaan pelayanan oleh kaum awam merupakan sebagian dari wujud Gereja sendiri yang merupakan sakramen dan tubuh Kristus yang hidup di dalam dunia, dan dalam daya dorong dari pengutusan untuk penginjilan. Pelaksanaan pelayanan kaum awam bersifat gerejawi dalam dirinya, dan tidak karena suatu kerelaan dari pihak hirarki. Tugas perutusan kaum awam merupakan suatu fungsi asli dalam pengabdian kepada umat gerejawi, supaya umat itu tumbuh dan tetap hidup”. 38)

Gereja sesudah Konsili Vatikan II semakin sadar akan penggilan dan pengutusan kaum awam umumnya. “Christifideles Laici” memastikan bahwa “para pastor harus mengakui dan memajukan pelayanan-pelayanan , tanggung jawab dan fungsi-fungsi kaum awam, yang berdasarkan sakramen pembaptisan dan krisma …”  Para Bapa Konsili telah menekankan dengan jelas, juga dengan memakai terminology yang lebih saksama, perlunya kita akan menyatakan kesatuan pengutusan Gereja, di dalamnya semua orang yang dibaptis mengambil bagian, maupun perbedaaanya dengan pelayanan para pastor, yang berakar dalam sakramen imamat.39)

Berhubung dengan yang dikatakan di atas ini, baiklah kita ingat akan peranan para religius awam (bruder dan suster) sebagai tanda dan realitas hidup dalam persekutuan gerejawi. Mengenai hal itu, intervensi seorang Pemimpin Umum pada sinode 1987, agaknya bias menjelaskan: “Dalam sejarah Gereja, kita mempunyai suatu tradisi yang hidup, yang memungkinkan kita menjelaskan dengan tepat, apa yang dimaksud dengan “pelayanan kaum awam”. Kami berbicara di sini tentang religius awam atau bruder, sebagaimana mereka sering disebut (dalam hal ini ia mengutip Perfectae Caritatis artikel 10).

Berabad-abad lamanya para religius melakukan pelayanan (seperti disebutkan oleh Konsili Vatikan II) yang jelas merupakan karya bagi kaum awam, yaitu pendidikan bagi kaum muda, perawatan orang sakit, dan pelayanan lain. Suatu penelitiansecaramendasar mengenai karya pelayanan oleh kaum awam yang dilakukan oleh bruder, sungguh akan menolong kita untuk mengerti dan merumuskan beberapa dari pelayanan kaum awam itu”. Sesudah itu, ia menyebutkan sejumlah tanda konkret dari karya para bruder, tanda yang sungguh merupakan karya pelayanan gerejawi, dengan ciri tertentu yang khas bagi kehidupan bruder religius:

-         Karya mereka berakar dalam pembaktian oleh pembaptisan dan krisma, suatu pembaktian yang hendak dihayati sepenuh-penuhnya
-         Semua pelayanan itu merupakan bagian dari karya keselamatan Kristus.
-         Mereka telah menerima suatu pengutusan dari Gereja dan yang disampaikan kepada mereka lewat Konstitusi hidup kongregasi bruder yang disahkan oleh Gereja.
-         Ada suatu keteraturan tetap dan kesinambungan dalam pelaksanaan segala pelayanan itu.
-         Ada pembentukanyang sesuai, suatu perlengkapan khusus, yang diselenggarakan oleh Kongregasi / institut mereka.

Namun, kurang baik jika hidup religius hanya dihargai karena nilai kegunaannya, dan pengabdiannya kepada bermacam-macam pelayanan. Karena yang berharga adalah hakekatnya, wujudnya dalam dirinya sendiri. Gereja mengakui bahwa hidup bagi Tuhan dari para religius dalam dirinya sendiri adalah “suatu sarana luhur bagi penginjilan yang jitu”. Karena sifat dari hidup religius, maka karya para religius cocok dengan karya dinamis Gereja yang rindu akan Yang Mutlak, akan Allah dan yang terpanggil kepada kekudusan. Mengenai kekudusan itulah mereka memberikan kesaksian. Karena hidupnya, mereka merupakan suatu tanda kesiap sediaan total bagi Allah, bagi Gereja dan bagi sesama bruder” 41)



1.1.1.   PENGUTUSAN BRUDER SEBAGAI KETERIKATAN GEREJA DENGAN DUNIA

Pelaksanaan pelayanan bagi para bruder sering berarti suatu keterikatan dalam suatu tugas yang mengandaikan kemahiran dalam profesi. Sepanjang seluruh sejarah hidup religius, - hari ini juga – kegiatan kerasulan para religius itu berarti kesibukan dalam “realitas profan”.

Resiko yang bertepatan dengan keterikatan ini kadang-kadang telah membayangi segi positifnya, yakni bahwa keterikatan para bruder, justru sebagai religius,bagi penebusan dunia merupakan tanda mengenai suatu dimensi hakiki Gereja, yanghadir dalam dunia sebagai pelayan umat manusia dan melawan setiap usaha manpun yang memandang manusia hanya dalam aspek duniawi belaka.

Pelaksanaan suatu jabatan profesi merupakan salah satu dari aspek khas dan hakiki dari panggilan bruder umumnya, dan berkaitan dengan statusnya sebagai awam.

Karya profesi yang dilaksanakan secara serius di dalam “kota duniawi” dan menuntut dari padanya kepandaian yang sama, ijazah yang sama, pembaktian yang sama, dan hormat yang sama bagi peraturan yang sama, seperti dituntut kepada setiap kaum awam / masyarakat. Yang dimaksud di sini yakni kehadiran Gereja di dunia, yang memasukkan suatu kedekatan dan setia kawan yang erat antara para religius dan awam, yang keduanya bertujuan yang sama, yaitu “membangun Kerajaan Allah”, meskipun mereka mengalami kehadiran itu dalam dua panggilan yang berbeda,dari dua titik tolak yang berbeda.

Bruder menghayati pembaktian religius dan imamat umumnya dari pembaktiannya sebagai religius, bertolak dari persekutuannya dan dari karisma khas tarekatnya. Kaum awam menyatakan identitas awamnya yang khas dengan hidupnya di dunia. 42).  Kesaksian kaum awam mengingatkan kepada bruder bahwa pembaktian religiusnya tak boleh menjadikannya tidak peduli akan keselamatan umat manusia, ataupun bagi kemajuan dunia seperti yang dikehendaki Allah dan telah ditugaskan kepada Kristus. Kesaksian bruder mengingatkan kepada kaum awam bahwa keselamatan dunia bukan usaha manusia belaka, bahwa kemajuan bukan tujuan dalam dirinya sendiri saja, dan bahwa pembangunan kota duniawi harus selalu didasarkan pada Tuhan (LG 46).

Keterlibatan kerasulan seorang bruder mempunyai suatu aspek persekutuan. Hal itulah yang menentukan perbedaan cara hidup bruder dengan kaum awam di dunia dan anggota Institut Sekulir. Meskipun kegiatan profesinya sama saja, namun dalam hal kaum awam dan anggota Institut Sekulir, kegiatan itu dilaksanakan, bahkan dalam pilihan kegiatan ditetapkan berdasarkan keterikatan pribadi pada dunia. Dalam hal bruder, pilihan kegiatan profesi bergantung pada sifat khas tarekatnya, tujuan khas tarekatnya, dan juga “pengutusan” yang telah dipercayakan kepadanya oleh para pemimpinnya.

Meskipun terdapat resiko sekularisasi yang disebur di atas ini, dan meskipun pelaksanaan karya profesi dapat menimbulkan “mendua hati”, namun bruder merupakan seorang yang dapat kut serta dalam kebudayaan dunia sekitarnya, yang dapat menyelidiki realitas di tempatnya, dan ddapat berdialog dengan nilai-nilai kebudayaannya. Ia tetap terbuka \ - tidak terutama untuk mengajar melainkan untuk belajar – dan dengan kesadaran kritis mencoba memberikan jawaban tepat yang dituntut kepadanya oleh realitas dunia dan Gereja zaman ini.

Sikap yang menentukan dari “berada di dunia namun bukan dari dunia”, sifat ini yang merupakan sifat hidup religius, membuktikan bahwa Gereja tidak sama dengan dunia, bahwa Kerajaan Allah tidak dibangun atas nilai-nilai duniawi, dan bahwa umat manusia sama seperti dunia membutuhkan penebusan.

Sekarang, setelah ditunjukkan aspek asasi hidup religius awam / bruder, kita tidak boleh lupa bahwa setiap pendiri tarekat dan tradisi hidup sebagai tarekat, telah menyelesaikan suatu sintesis otentik dan pribadi serta secara utuh dari unsur-unsur keseluruhan itu.



4.     DIMENSI KENABIAN HIDUP BRUDER

Kehidupan religius berkembang dalam Kerajaan Allah yang telah berada di tengah-tengah kita, tetapi hidup itu selalu bermotivasikan dan berinspirasikan Kerajaan Allah eskatologis, yang masih harus datang. Oleh sebab itu, Kerajaan Allah itu termasuk dunia kenabian, salah satu karisma Roh Kudus. 43)

Arti yang berbeda-beda dari kata “Nabi” dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru memperlihatkan arti yang beraneka warna, misalnya: membawa, mewartakan, meneriakkan, mengadukan, memberitakan suatu pendapat ….   Dipanggil, berbicara atas nama Allah. Nabi itu dilihat sebagai seorang yang merasa berhubungan mesra dengan Allah dan sekaligus dengan umat manusia: ia merupakan seorang pribadi dan bersama mereka, berdoa bagi umat dan sekaligus menyadari diri sedalam-dalamnya untuk bertindak bagi orang sezamannya, bagi mereka yang didoakan dan diperjuangkannya. Nabi merupakan seorang manusia religius yang dijiwai oleh Roh Yahwe, uantuk menyemangati dan mempengaruhi orang di sekitarnya. 44)  karena ia percaya akan Allah yang menyelamatkan dan memberikan kehidupan. Ia adalah orang sezaman, yang berusaha mengerti warta dari tanda-tanda sezaman….  Ia juga merupakan orang dari zaman yang akan datang. Oleh karena itu, menjadi nabi berarti: dipanggil Allah untuk tinggal bersama dia, menerima sabdaNya dan terutama untuk menjadi pembawa nafas Allah yang menyelamatkan dan memberikan kehidupan.

Di antara banyak karisma yang diberikan oleh Allah bagi kesejahteraan rakyatNya,maka kehidupan religius berpartisipasi secara istimewa dalam dimensi kenabian Gereja, karena kehidupan itu dimotivasikan oleh nilai dari hari depan yang hendak diwariskannya dengan memberikan kesaksian daripadanya dalam zaman ini.

Kenabian seperti kita temukan dalam Perjanjian Lama, dan kenabian Yesus Kristus seperti dikisahkan dalam Injil, telah dilanjutkan dalam seluruh sejarah Gereja. Cara hidup orang yang berbicara atas nama Allah, dan terutama kehidupan Yesus, seorang nabi yang berkuasa dalam perkataan dan perbuatan.45) yang seluruhnya menanggapi zaman hidupnya dan ditengah lingkungan sosialnya, dalam generasi sezamannya, namun sekaligus juga lain darkena penggunaan bahasanya, kelakuan, dan sikapnya. Hal itu terdapat juga dalam hidup religius awam. Di sini kita menyentuh suatu aspek yang mengenai identitas khas relgius, dan yang menunjukkan kepadanya bagaiama ia selalu dapat mengatasi dirinya senfiri.

Perumusan lebih terinci ini memperkuat sekali lagi suatu pendapat kenabian, mengenai hidup religius awam, sebagai bruder. Lagi pula, jika kita mengingat bahwa sepanjang sejarah Gereja. Allah membangkitkan bermacam-macam bentuk hidup itu, sebagai tantangan yang diarahkan kepada Gereja dan diutus, sesuai dengan Injil.

Marilah kita sekarang mengamati beberapa tanda nabi, ditetapkan kepada hidup bruder.

-         BRUDER DIPANGGIL OLEH ALLAH

Sama seperti dalam Kitab Suci, maka panggilan bagi hidup bruder merupakan baik karunia maupun tugas; suatu karunia Allah kepada dunia, kepada Gereja, kepada orang yang terpanggiluntuk mempertaruhkan diri bagi pengutusan Yesus. Hal itu merupakan inti pokok dalam kehidupan religius awam / bruder, seperti terjadi juga pada nabi. 46)

Kita mendengar panggilan itu dan menanggapinya dalam hubungan dengan latar belakang karisma khusus kongregasi religius yang dihidupkan Allah dalam keadaan tertentu dalam sejarah untuk bertindak dalam situasi tertentu. Karisma itu tidak merupakan sesuatu yang telah ditetapkan sebelumnya, yang dapat diuraikan sebelumnya atau sebelumnya dianggap tidak dapat diubah; dalam setiap masa selanjutnya, karisma itu harus dievaluasi, agar dapat diberi bentuk yang tepat dan diamalkan. “Maka, kesetiaan kepada karisma sendiri merupakan suatu bentuk konkret dari ketaatan kepada rahmat keselamatan Kristus dan dari pengudusan bersama Dia, untuk menyelamatkan sesama manusia, atau bertolak dari perspektif pengajaran, pelayanan kesehatan, pelayanan social, pelayanan paroki, atau dari perspektif budaya, kesenian, dsb. Secara demikian, Roh Kudus dihadirkan, yang menanamkan semangat Injil kepada orang dengan kekayaanNya yang beraneka ragam” 47)

-         BRUDER MERUPAKAN UTUSAN ALLAH PEMBAWA ROH TUHAN

Sama seperti para nabi, maka bruder dipanggil untuk menjadi utusan Alah, pembawa Roh Yahwe, seseorang  yang dalam dia Allah menghadirkan diri, sebagai satu-satunya motivasi kehidupan. Sebagai manusia yang didorong oleh Roh Kudus, maka bruder perlu mampu membaca tanda-tanda zaman, dan hadir sebagai religius di tengah realitas dunia, yang mewartakan kebaikan Allah. Ia memberikan kesaksian mengenai nilai-nilai pembaktian dirinya, dan ia merayakan kehadiran Kerajaan Allah dalam bermacam-macam bentuk, dalam realitas duniawi dan dalam masyarakat zaman ini.

Secara demikian, hidup dan aktivitas bruder bernilai sebagai suatu tanda eskatologis, yakni pewartaan nilai-nilai transenden, dan bahwa penebusan manusia sedang berlangsung di dalam dunia. “Dengan demikian, hidup bagi Allah merupakan suatu ungkapan kenabian mengenai nilai yang paling luhur dari persekutuan Allah dengan umat manusia” 48) dan suatu kesaksian yang mulia, bahwa dunia tidak dapat berubah dan tidak dapat dipersembahkan kepada Allah, tanpa semangat  Sabda Bahagia”  49)

Menurut sifatnya sendiri, maka kaul-kaul religius hanya merupakan suatu cara untuk selalu secara kritis menguji dirinya sendiri dan orang lain. Karena kaul, hidup bruder memperoleh suatu identitas pribadi, karena hidup itu diabdikan kepada Pewartaan Injil Yesus dan kepada kesaksian kenabian dengan hidup sederhana, meninggalkan egoisme, dan sikap sombong terhadap sesama.

-         BRUDER HIDUP DALAM PERSEKUTUAN

Bruder ada dalam suatu persekutuan / komunitas yang merupakan tempat utama dan perlu sekali bagi pembaktian dan pengutusannya, maka ia merupakan tanda bahwa Kerajaan Allah  lewat persaudaraan telah tiba. Ciri-ciri khas persekutuan itu yakni persaudaraan menurut Injil. Para bruder menanggung persaudaraan sebagai pengutusan untuk melanjutkan karya penebusan yang dimulai oleh Yesus.

-         BRUDER MEMPERHATIKAN TANDA-TANDA ZAMAN

Sama seperti para nabi yang memperhatikan tanda-tanda zaman, maka bruder tergerakkan oleh Roh Kudus, namun juga dekat dengan manusia, bruder itu seorang yang suka mendengarkan Allah dan manusia, yang peka terhadap kesukaran pastoral Gereja dan dunia yang mendesak, dan terhadap tanda-tanda zaman yang berlangsung. Ia tidak menarik diri ke dalam tempat suci, melainkan tahu bagaimana ia harus bersaksi mengenai semangat Pantekosta di banyak tempat ia diutus untuk mengamalkan bermacam-macam bentuk kerasulan.

-         BRUDER TERLIBAT PADA PEMBEBASAN MANUSIA

Bertolak dari pengalamannya tentang Allah, bruder itu berpartisipasi dalam kegembiraan, pengharapan, dan kecemasan semua manusia. Pengalamannya mengenai Allah melengkapinya dengan pengertian bagi manusia, lepas dari ideology politik manapun, dan mendorongnya menjadi pelayan seluruh masyrakat, terutama mereka yang paling miskin.

Sebagai orang yang hidup bagi Allah, ia memajukan kesadaran mengenai martabat manusia, dan menjadi seorang yang dengan kehadirannya saja mewartakan Injil Kabar Gembira dan yang mengadukan sebab-sebab struktur yang tidak adil dalam masyarakat.

-         BRUDER BERPARTISIPASI DALAM SUATU KEBIJAKSANAAN ALLAH

Para nabi berpartisipasi dalam kebijaksanaan Allah dan menggunakan teks-teks kebijaksanaan yang dikutipnya dan yang pernah terjadi dalam menyimak peristiwa dalam terang Allah, yang bekerja dalam sejarah umat-Nya. Bruder menemukan teks-teks yang sama dalam Kitab Suci Alkitab, teks-teks yang harus diketahuinya, karena teks itu memberikan hidup kepada doanya, dan ia menimba kebijaksanaan hidup daripadanya. Di samping itu, ia memiliki tulisan suci dari Pendiri kongregasi, juga konstitusi / regulanya…  dan dialog / kapitel dalam komunitas dan dalam persekutuan yang lebih besar, yang baginya merupakan kontak dengan kehendak Allah.

Tokoh nabi yang seluruhnya terpenuhi dalam diri Yesus dari Nasaret merupakan suatu dorongan tetap untuk tumbuh bagi bruder yang karena panggilannya, seluruhnya terikat dalam Allah dan demi keselamatan dunia.



5.     KESETIAAN KEPADA IDENTITAS BRUDER, SECARA KREATIF DAN TERUS MEMBAHARUI, SESUAI DENGAN PANDANGAN PENDIRI KONGREGASI

Kesetiaan kepada identitas hidup religius awam sebagai bruder dalam arti kreatif dan berkembang, tidak kita pahami sebagai pertahanan sikap mandeg dan kebiasaan dari masa lampau saja. Identitas kongregasi bruder mengandaikan pertumbuhan dan perkembangan seperti lazim pada manusia. Kesetiaan berkembang dalam relasi dan keterikatan  dengan seseorang tidak mandeg dengan paham dan peraturan yang ada. Memang, mentaati perintah resmi lebih mudah daripada memenuhi tuntutan cintakasih. Asal mula, pusat dan dinamika hidup ialah Yesus Kristus. Oleh karena itu, dalam kontak dengan Dia, akhirnya kesetiaannya akan mencapai kematangan.

Kesetiaan merupakan proses yang terus-menerus dan bukan suatu perbuatan yang berdiri sendiri. Pilihan pertama seseroang menyebabkan terjadinya suatu deretan langkah-langkah perbuatan kesetiaan, dan kita tidak tahu ke mana kita akan dibawanya. Allah adalah Bapa yang ingin mempunyai anak, pria dan wanita, dan bukan kanak-kanak yang tetap kanak-kanak saja, dan juga sama seklai bukan jadi budak. Kesetiaan yang dipahami secara demikian, menyebabkan kita terus maju untuk mencapai tujuan kita, tanpa terjerat dalam pengulangan yang tak berarti dan keinginan nostalgia yang membujuk ke kemunduran.

Dalam kesetiaan kristiani, Roh Yesus mengambil prakarsa. Dialah yang mengarahkan rencana hidup manusia. Setiap pribadi dan persekutuan wajib menjadi setia dalam setiap situasi. Untukmenunaikan tugas itu, kita harus melewati semacam “kematian” agar kita lama-kelamaan akan dilahirkan kembali bagi apa yang belum kita kenali sebelumnya. Roh Tuhan selalu memanggil kita untuk mulai melangkah lagi. Semangat bruder itu maju terus mengikuti Tuhan Yesus, karena iman Kristiani itu iman sejarah yang terus ke depan.

Penyadaran pribadi dan bersama berperanan penting dalam proses kesetiaan. Sama seperti st. Maria, maka bruder juga berusaha memberikan perhatian kepada hati yang tahu membedakan / selalu mengadakan pembedaan roh, yang mendengarkan dengan penuh perhatian, yang terbuka bagi panggilan Tuhan dari hari ke hari, yang berusaha mempertahankan kesetiaan kepada karya Roh Yesus, dan yang mencoba meneladan ketaatanNya kepada Bapa. Bruder harus belajar mendengarkan para nabi dan belajar mengerti kebenaran pewartaannya, jika kita hendak melanjutkan perjalanan panggilan tanpa tersesat dalam pendapat diri sendiri. Banyak faham ajaran lain yang tidak sesuai dengan panggilan hidup bakti masuk dan menjadi pendapat diri sendiri.

Sama seperti Gereja yang belum kehabisan api semangat yang diterimanya pada hari Pantekosta, begitu pula hidup bruder belum kehabisan segala kemungkinannya dan belum selesai menjabarkan segala kekayaan karisma Pendiri Kongregasi.

Para Pendiri Kongregasi pasti merupakan orang dari zamannya sendiri, yang telah selengkapnya mencerna pembentukan yang diterimanya dalam lingkungan keluarga, dalam rumah-rumah formation, dari pemimpin rohanianya, dari wewenang mengajar Gereja…. Namun mereka tidak menjadi tawanan dari pembentukan tsb. Segala hal yang telah diterimanya merupakan unsur yang diolahnya dan disisipkannya dalam upaya menanggapi keadaan zamannya, sesuai dengan karisma yang diterimanya. Tiada suatupun dan tiada seorang pun dapat mencegah kekuatan Roh Kudus di dadlam mereka yang mendorong untuk nekat berjuang demi sesuatu yang tidak selalu dapat ditangkap-dimengerti oleh orang di sekitar mereka.

Setiap kongregasi yang didirikan membawa risiko dan kesukaran. Dari mana-mana timbullah kesukaran. Cara merumuskan konstitusi berdasarkan kpengalaman hidup bersama para bruder pertama, memperlihatkan bahwa hidup para Pendiri lebih ditandai oleh ‘penggembaraan Abraham” daripada oleh pandangan kebijaksanaan dan yang mengaruh ke masa depan.

Di dorong oleh keyakinannya yang mendalam bahwa mereka adalah milik Tuhan dan milikGereja, maka para Pendiri ingin memperbaiki beberapa situasi dalam masyarakat se zamannya. Mereka telah memiliki suatu keyakinan yang jelas mengenai apa yang hendak dicapainya, meskipun mereka tidak mempunyai sarana untuk mewujudkannya. Justru karena hal itu, mereka mengalami “hal baru dari karisma” dan “karisma dari yang baru”, dalam kesetiaan terus-menerus kepada Roh Kudus. Secara demikian, mereka belajar dari “kehilangan hidupnya” dan mendapat kekuatanuntuk melakukan itu dalam arti Injili.

Para Pendiri tidak bersembunyi di belakang kata-kata kosong, impian muluk-muluk, dokumen yang berharga. Mereka juga tidak memakai kata-kata “klise”, kata-kata atau istilah biasa, karena caranya bertindak dan kongregasinya berlatar belakang sangat lain daripada kongregasi yang sudah ada.Mereka merupakan orang yang melihat jauh pandangan Kristiani dari zaman mereka, karena prakarsa ilahi dan inspirasi Ilahi.Dengan setia, mereka ingin diberi inspirasi oleh suatu karisma yang belum pernah dapat dirumuskannya dan yang menyebabkan mereka selalu melampaui keterbatasan dirinya. Mereka sering mengalami pertentangan danterus mengalami perlakuan seperti yang dialami oleh Yesus dari para penentangNya.

Suatu keyakinan iman merupakan inti hidup para Pendiri.Meskipun imannya sebesar biji sesawi, namun iman itu menyanggupkan mereka untuk memindahkan gunung: kesukaran dalam hubungan dengan keluarga mereka, dengan pemimpin Gereja, dengan masyarakat, dan banyak lagi.Garis besar kehidupan  para Pendiri Kongregasi memperlihatkan kepada kita, bagaimana seharusnya jalan kita kepada kesetiaan di masa sekarang ini:

*   Mereka hidup dengan sikap terus-menerus mendengarkan Sabda Tuhan, mereka menyerahkan diri kepada bimbingan Roh Kudus, sehingga mereka tetap berada dalam suatu proses pembentukan, pembaharuan, dan pertobatan terus-menerus.
* Mereka mengatasi zamannya sendiri: mereka melangkahi keterbatasan dan mengarahkan diri ke masa depan, yang lama-kelamaan dibuka oleh Tuhan bagi mereka.
* Mereka menggerakkan suatu proses pendirian tarekat. Terjadinya setiap kongregasitidak merupakan sesuatu yang pernah dilaksnakan dan untuk selama-lamanya; para Pendiri memulai suatu proses yang merupakan tugasuntuk seluruh hidupnya, dan dalm arti tertentu, masih diteruskan sekarang ini.
*  Mereka bukan tawanan dari zamannya dan bukan pula tawanan dari sturktur-strukturzaman itu. Mereka berhasil menjadi setia kepada zamannya dan sekaligus menanggapi tuntutan, karisma dalam pendirian tarekat. Ternyata,mereka memiliki suatu daya cipta bahkan di tengah-tengah banyaknya kesukaran.



6. BEBERAPA TANTANGAN AKTUAL YANG PENTING

Perhatian bruder yang utama harus diarahkan kepada keselamatan dunia. Keselamatan itudisertai dengan tantangan yang penting, yang harus kita amati masa kini. Sebetulnya dunia bukan merupakan lapangan  kerja biasa bagi para bruder, melainkan juga merupakan lapangan teologisnya, tempat kita bertemu dengan Allah.

Maka, jika bruder dalam semangat Sabda Allah memulai tugasnya di dunia, inspirasi dasarnya harus dibentuk oleh kalimat pertama Gaudium et Spes, yakni: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia dewasa ini, terutama yang miskin dan terlantar, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid-murid Kristus pula. Dan tidak terdapat apa pun yang benar-benar manusiawi, yang tidak bergema di dalam hati mereka…  Oleh sebab itu, Gereja merasa dirinya benar-benar bersatu mesra dengan umat manusia dan dengan sejarahnya ”. 50)

Bruder harus memandang dunia dari sudut pandang Allah, agar di dunia itu dapat menunaikan tugasnya yang khas dengan karismanya. Karrena statusnya sendiri sebagai religious awam, maka secara orisinil, bruder ikut serta dalam dialog antara Gereja dan dunia, antara agama dan kebudayaan. Status sebagai religious memberikan kebebasan kepada bruder untuk tidak hanya bekerja di tempat Gereja sudah hadir, melainkan juga di tempat-tempat Gereja belum hadir.

Bruder melakukan karyanya di sekolah, di rumah sakit, di jalan, di penjara, di desa, kampong ….  Di manapun bruder bekerja, ia mengusahakan:

*   Perdamaian social dan kemajuan manusiawi, sehingga setiap laki dan perempuan dapatmenemukan tempatnya di dunia, dan agar tidak seorang pun dikucilkan.
*   Keadilan dan persaudaraan universal, yang dari pihak bruder sendiri mengandaikan suatu pertobatan dan perubahan dalam cara berpikir, yang akan menjadikannya peka bagi diskirminasi martabat yang ada pada berbagai tingkatan masyarakat.

Bruder menyatakan pilihan utama bagi orang miskin dengan bermacam-macam cara, lebih-lebih dengan:

*    Memperhatikan kaum muda pada setiap bidang kebudayaan, pendidikan, pengajaran, informasi, waktu senggang dan istirahat, mempengaruhi mentalitasnya sehingga kemungkinan yang dipersembahkan oleh masyarakat dapat merupakan sarana bagi mereka untuk pembentukan dan tidak untuk manipulasi.
*    Terbuka hati bagi kebutuhan dan kesulitan dunia ketiga
*     Memperhatikan lingkungan yang paling terlantar
* Memperhatikan kaum pinggiran, orang jompo, orang sakit, tunakarya, dengan berusaha mencukupi kekurangan mereka dengan mendayagunakan potensi yg ada, meringankan kesepian dan penderitaan batin mereka
*  Memperhatikan secara aktif para korban obat bius / pecandu narkoba, orang tertindas, para pengungsi dan orang-orang asocial
*    Menolong para orang tua dalam tugas mendidik anak-anak mereka, lebih-lebih dalam zaman ini, zaman ketidakpastian dan pergeseran nilai-nilai
* Mencari suatu system pengajaran yang disesuaikan dengan bermacam-macamlingkungan
* Mengorganisasikan aksi pemberantasan buta aksara dan program bagi pendidikan khusus untuk difabel dan pendidikan non-formal / ketrampilan

Bentuk hidup bruder memberikan kemungkinan kepadanya untuk menghadapi tantangan itu dalam semangat Injil dan untuk merumuskan pertanyaan kritis kepada Gereja dan masyarakat.

Seperti para nabi, para bruder terpanggil untuk mengecam gaya hidup mewah, berkelimpahan, kurang rasa setia kawan, kelaliman, penindasan kaum lemah oleh yang kuat, peperangan, dan perpecahan. Namun, hal itu hanya dapat dilakukan, jika bruder telah mengetahui bagaimana perutusannya dan bagaimana dapat melakukannya secara konkret.

Maka bruder harus menemukan kembali daya kenabian yang akan memberikan kepada kongregasinya kekuatan baru dan argument-nya yang diperlukan.

Perhatian baru terhadap Injil / Kitab Suci pasti akan memberikan kekuatan baru kepada kehidupan para bruder. Namun, jika mereka secara pribadi mengundurkan diri ke dalam dirinya sendiri demi rasa aman sendiri ddalam komunitasnya, maka mereka pasti akan kehilangan daya kesaksian dan daya tariknya. Jika mereka hidup nikmat senang, seakan-akan hidup di suatu pulau, tersembunyi di belakang kapasitas jabatannya, jauh dari ‘duka dan kecemasan manusia’ dan tuli terhadap ‘panggilan Tuhan’ bagi ‘evangelisasi baru’, maka dayanya untuk menggerakkan orang lain dan juga masa depan umat manusia, dan lembaga-lembaga / terekat, dibahayakan. Jika para bruder menghidupkan kembali hal hakiki dari identitas religious awam sebagai bruder, maka mereka akan sanggup menghidupkan gairah baru ke dalam hidup dan pengutusan mereka, dan menjiwai orang lain juga. Merasa bahagia dalam karyanya tidak sama dengan merasa tertarik oleh suatu perutusan kerasulan. Yang pertama berhubungan dengan profesionalitas jabatan, yang kedua  berkaitan dengan penghayatan karisma. Pada  dasarnya, hal itu merupakan penemuan kembali karakter unik mereka sebagai manusia, dan kekhasan karisma religious awam / bruder. Sikap para Pendirinya, yang tahu apa yang harus dilakukan untuk menanggapi kebutuhan umat Allah dan masyarakat dari zamannya, harus merupakan dorongan baginya untuk mengatasi kesukaran-kesukaran yang ada zaman ini.

Hidup bakti bruder harus mampu memberikan jawaban yang menyebutkan keterkaitan antara karisma tarekat, Gereja, dunia, dan sejarah. Untuk hal itu pasti dibutuhkan penyesuaian kembali / terus-menerus dan pembaharuan semangat. Kita harus mengadakan pilihan yang baik dengan program-program tentang pembentukan lanjut / on going formation, sehingga di dalamnya dicantumkan problem yang actual-nyata dan paling penting yang kita hadapi. Kita harus berusaha untuk memiliki rasa kemanusiaan yang besar dan kesadaran yang mendalam akan panggilan Allah, kita harus mengarahkan perhatian terbesar kepada karisma pendiri dan berusaha agar karya kerasulan kita ditinjau kembali sebaik mungkin, sehingga pelaksanaan jabatan kita menjadi lebih lancar. Akan timbul kebutuhan besar untuk membentuk komunitas yang dibaharui, yang yakin akan identitasnya, dan yang dengan gembira akan memberikan kesaksian tentang karismanya.Para bruder ddapat mengulangi kesaksian St.Paulus “Jadi, Saudara-saudara, jika aku datang kepadamu dan berkata-kata dengan bahasa Roh, apakah gunanya itu bagimu, jika aku tidak menyampaikan kepadamu pernyataan Allah atau pengetahuan, atau nubuat, atau pengalaman? “  51)

Bertolak dari suatu pengalaman akan Allah, dengan sikap positit terhadap dunia, diberi inspirasi oleh tarekat kenabian para Pendiri, maka para bruder harus menunaikan tugas yang besar untuk sekali lagi memberikan jejak bagi tarekat mereka dalam “hari demi hari” perjalanan sejarahnya. Sebuah petualangan yang hebat.

Sekarang ini, para bruder dihadapkan dengan suatu tantangan yang samasekali lain, yaitu: arti kaum awam Kristiani. Kita melihat semakin banyak kaum awam, laki dan perempuan, yang tertarik oleh karisma atau karya tarekat religious, yang meminta izin untuk diperbolehkan bergabung di ddalamnya, sedangkan mereka tetap tinggal sebagai awam . Mereka ingin bekerja sama dengan para religious dengan tetap memiliki identitasnya sendiri sebagai awam katolik dalam dunia.

Keadaan yang baru ini pasti merupakan  berkat bagi semuanya. Para bruder dan kaum awam katolik mempunyai status yang sama dalam umat Allah, karena keterlibatan mereka berakar dalam pembaptisan yang sama dan dalam inam yang sama pula. Eklesiologi  dari “communion” (GEREJA adalah communion) yang dianjurkan oleh Konsili dan dikembangkan oleh Konferensi Para Uskup, sudah kita kenali, dan sekarang mengatr kita kepada suatu Gereja yang memikul tanggung jawab bersama.

Bersediakah kita, para bruder memberikan kemungkinan untuk semakin bertambahnya keterlibatan kaum awam katolik yang bertanggung jawab? Atau lebih baik: Bersediakah kita memajukan keterlibatan tsb, agar mereka, justru sebagai kaum awam, sanggup ikut serta  berperanan dalam perutusan Gereja? Maukah kita memberikan kesempatan kepada kaum awam untuk memperkaya karisma kita, oleh interpretasinya sendiri, ataukah kita hanya akan meneruskan interpretasi kita sendiri kepada mereka? Adakah kaum awam tetap tinggal sebagai  bawahan kita? Akankah kita  melanjutkan karya pelayanan kita sampai selama-lamanya, hanya berdasarkan identitas khusus para religious, atau dapatkah kita memperkayanya juga dengan bergandeng tangan dengan mereka yang bekerjasama dengan kita?

Kaum awam ingin dan dapat berpartisipasi secara rohani dalam karisma tarekat  bruder, namun hendaknya tiada satu pun dari para bruder dan kaum awam katolik tsb. yang kehilangan identitasnya.  Masing-masing harus tetap dalam statusnya, sesuai dengan identitas khususnya dan kemungkinan-kemungkinannya. 

Catatan tambahan: Dalam hal ini, kaum awam katolik dapat menjadi anggota KERABAT KARITAS dalam tarekat Bruder Karitas.  Mereka tetap berstatus penuh sebagai awam katolik, meskipun mereka menghayati karisma dari tarekat Bruder Karitas dan saling membantu mewujudkan spiritualitas dalam karisma itu, yaitu KARITAS / CINTAKASIH ALLAH, bagi Bruder Karitas khususnya KEPADA MANUSIA YANG MISKIN, DIFABEL, SAKIT JIWA, LEMAH, DAN PENDIDIKAN KAUM MUDA dst.
Baca di link ini, silahkan klik   http://bruderkaritas.org/kerabat_karitas_168.html



IKHTISAR PENUTUP

Kita telah mengenal ciri-ciri khusus hidup religius awam Bruder, dan sekaligus menunjukkan bagaimana hidup itu dapat tumbuh dalam identitasnya sendiri. Membicarakan identitas sebetulnya juga berarti menganjurkan suatu program panggilan bagi mereka yang merasa terpanggil kepada bentuk hidup itu.

Akhirnya kami sajikan beberapa pemikiran dan detail-detail tertentu sebagai ikhtisar :

1.     Kami yakin bahwa hidup religius bruder belum memanfaatkan segala kemungkinannya dan bahwa hidup itu ada masa depannya, justru karena beridentitas awam. Oleh sebab itu, pentinglah bahwa hidup itu diberi tempat yang tepat dalam misteri Gereja, yang statusnya sebagai umat Allah memuat juga suatu gaya hidup, suatu mentalitas, suatu spiritualitas dan suatu pengutusan apostolik.

Teks-teks Konsili menyebutkan dua cara yang dapat digunakan untuk menggolongkan semua anggota Gereja: dipandang secara hirarkis, maka setiap anggota merupakan imam / klerus atau awam; dipandang dari karisma, maka Roh Kudus membangkitkan di dalam Gereja sejumlah karisma yang berbeda-beda bagi hidup religius dan juga bagi hidup kaum awam. Konsili menyatakan juga bahwa hidup religius awam bruder ini “bukan status tengah antara klerus dan awam. Dari klerus dan awam, sejumlah orang beriman dipanggil Allah untuk menikmati anugerah khusus dalam hidup Gereja sebagai religius, dan supaya masing-masing dengan caranya sendiri, berperan bagi pengutusan penyelamatan Gereja.” 52)

Meskipun para bruder merupakan religius lengkap dan status hidupnya “merupakan satu status pengamalan nasihat-nasihat Injil yang lengkap dalam dirinya”, 53) namun mereka termasuk kaum awam juga, meskipun hidup mereka berbeda dengan hidup kaum awam biasa. Ditilik dari status awam, mereka merupakan orang yang hidup bagi Allah, yang dipilih dan dipanggil untuk mengikuti Yesus dan diwajibkan menjadi tanda dan saksi bagi dunia.

2.     Hidup religius awam bruder berdasarkan suatu peristiwa, yaitu panggilan bagi cara hidup ini, yang unsur hakikinya adalah pembaktian religius, persekutuan, dan pengutusan gerejawi. Unsur-unsur itu, dihayati para bruder, justru sebagai kaum awam. Panggilan yang diterimanya tidak memuat suatu kemenduaan (antara klerus dan awam), melainkan suatu panggilan untuk menjadi ‘tanda dan kesaksian kekudusan’ di dunia, untuk melaksanakan suatu pengutusan gerejawi tertentu.

3.     Hidup bakti bruder memberikan kepada seluruh kepribadian suatu keterarahan dengan pengutusan tertentu dalam karisma. Hal itu disertai dengan pemberesan kembali tiga daya asasi seluruh pribadi manusia, yaitu memiliki, mengasihi dan berada.
·        Mengenai “memiliki”, di sini pengarahan bruder ditetapkan oleh prasetia kemiskinan, yang mewajibkan bagi suatu kehidupan berkarya, berbagi dan merayakan dengan orang lain. Dengan cara demikian, berdasarkan realitas manusiawinya sendiri, ia menyatakan solidaritasnya dengan sesame dalam dunia, sebab ia ikut serta dalam persekutuan dan pengabdian Gereja.
·        Mengenai ‘mengasihi’, daya manusiawi ini diarahkan oleh prasetia hidup wadat / selibat, yang baginya membuka persaudaraan yang lebih luas. Hal itu nyata karena suatu kesiapsediaan yang lebih besar bagi orang yang paling menderita, sesuai dengan karisma khususnya, dan dalam persahabatan dan persaudaraan bersama. Dilihat dari aspek itu, maka ia ikut serta dalam karya pelayanan pendidikan dan pelayanan cintakasih.
·        Mengenai “berada”, berarti dan mengandaikan bahwa kita tumbuh dengan cara khusus. Dalam hal ini, pertumbuhan pribadi itu diarahkan oleh kaul ketaatan. Oleh prasetia itu, kita berusaha agar kehendak Allah tetap merupakan pedoman dalam pertumbuhan pribadi bruder dan dalam pertumbuhan persekutuan / tarekat. Hal itu menjelaskan arti kesaksian bruder terhadap panggilan kepada kesucian, yang merupakan panggilan setiap anggota umat Allah. Bruder diutus untuk memberikan kesaksian, sama seperti Gereja memberikan kesaksian di dunia.

4.     Sebutan “Bruder” (Saudara), yang khas bagi religius awam pria, dengan tepat menunjukkan persaudaraan, juga kepada persekutuan. Kaul kemiskinan, ketaatan, dan terutama hidup wadat, merupakan sarana untuk tetap dan bertekad menempuh jalan menuju cita-cita Injil, yakni persaudaraan. Sangat pentinglah bahwa persekutuan religius hidup bersatu di sekeliling Sabda Allah, yang mengumpulkan dan yang membentuk persekutuan itu. Sabda Allah yang dibagi dan dirayakan bersama harus menjadi pedoman bagi hidup dan karyanya, dan juga bagi penyerahan dirinya demi keselamatan dunia. Di sinilah letak akar dari pengutusan kenabian bruder, yang menjadikannya ‘manusia Allah’, ‘pemerhati tanda zaman’, ‘pembawa keselamatan dan pembebasan’.

5.     Bruder mengalami karya pelayanannya bertolak dari ‘pengutusan gerejawinya’ sendiri yang khas, sesuai dengan karisma Pendiri Kongreasi. Bruder melaksanakan karya pelayanannya dengan berbagai kegiatan, yang didorong oleh pembaktian religius karena panggilan, yaitu baik untuk meringankan kesukaran hidup manusiawi yang paling fundamental, maupun dengan penyerahan diri secara jelas bagi pewartaan Injil. Bruder tidak ikut serta dalam jabatan tahbisan, namun ikut serta dalam karya gerejawi yang dipercayakan kepada tarekatnya, seperti dirumuskan dalam konstitusi yang disahkan oleh Gereja. Dengan demikian, tatacara keikutsertaannya dalam karya pelayanan gerejawi menjamin kesinambungan bagi dirinya sendiri dan bagi tarekat.


6.     Sangat pentinglah agar sifat asli dan daya dorong karisma setiap kongregasi ditemukan kembali, dan agar di dalamnya terdapat tempatnya sendiri. Institut dan karya tidak boleh menjadi penghambat bagi kekuatan karisma, melainkan harus merupakan pernyataan daya dorong karisma itu. Karisma itu dapat terwujud juga dengan cara yang sederhana dan dianggap sepele, dalam hal-hal yang kurang menarik perhatian, yang kurang diperhatikan, atau yang dianggap kurang penting.

Hidup religius awam bruder menjadi  penting karena utamanya adalah identitas kenabian dan kesaksian hidup eskatologis  bagi dunia yang akan datang, ketimbang kegunaannya pekerjaannya, bahkan pada bidang pastoral. Oleh karena itu, religius awam bruder hendaknya :

·        memiliki pengalaman pribadi dan mendalam mengenai Allah dan memiliki semangat persekutuan yang kuat;
·       sanggup mengintegrasikan segala kemungkinan dan keterbatasannya secara dewasa dan stabil, agar ia dengan amat jelas memperlihatkan panggilan akan penyerahan dirinya secara total kepada Allah dan sesamanya;
·       bersedia seperti para nabi dicernment tanda-tanda zaman, agar ia dengan lebih baik dapat menanggapi panggilan Allah, menurut karismanya;
·      merasa menyatu dalam dunia, dan - demi Injil - merasa terlibat dengan masalah dan kesukaran dunia, juga dalam berbagai kebudayaan dan cara berpikir;
·      hadir di dalam dunia, tempat ia, - dengan hidup yang teguh - tampak sebagai tanda, dan tempat ia menunjukkan nilai persaudaraan injili karena kegiatan dan kesanggupannya mengadakan relasi manusiawi dengan setiap orang.
Inilah garis besar yang dapat memberikan kekuatan baru kepada identitas setiap bruder, kesinambungan kepada pengutusan apostoliknya dan keluwesan tarekat, untuk mengikuti panggilan Roh Kudus bagi pembaharuan dengan lebih baik. Masa depan akan bergantung pada peristiwa Pentekosta. Jika peristiwa itu, pada hari ini merasuki kehidupan kita sebagai angin bertiup dan lidah api, maka kita akan berbicara dengan bahasa lain karenanya. 54)

Tetapi, untuk berbicara dalam bahasa lain, kita harus pindah dari pusat ke pinggiran, ke garis depan, dan bagi pemindahan itu, kita harus menjelajah padang gurun. Justru susunan kaul-kaul memungkinkan hal itu, dan menuntut kita untuk mengikuti Yesus secara radikal, bahkan sampai ke dalam situasi yang di luar normal. Mungkin dapat dikatakan bahwa kaul-kaul bruder memungkinkan dan menuntut bruder untuk hadir di padang gurun (kesepian hidup), di pinggiran dan di garis depan. Yang kita maksud dengan ‘padang gurun’  yaitu bahwa kaum religius berada di tempat yang sebenarnya tiada seorang pun, seperti terjadi sepanjang sejarah, karena kehadirannya di rumah sakit, di sekolah, atau seperti sekarang di dalam paroki yang ditelantarkan (ini kasus di Eropa). Yang kita maksud dengan ‘pinggiran’ yaitu bahwa kaum religious bruder tidak hadir dalam pusat kekuasaan, melainkan di tempat yang tiada kekuasaan, yang ada hanya ketidakberdayaan. Yang kita maksud dengan ‘garis depan’  yaitu kaum religius bruder harus hadir di tempat yang dialami adanya kebutuhan akan kegiatan kenabian untuk membangkitkan Gereja dari kelesuan yang menjadikan beku, atau untuk menunjukkan keaiban dosa masyarakat secara lebih tegas. 55) Pergeseran dari pusat ke pinggiran, ke padang  gurun, dan ke garis depan, semua itu berarti ‘kembali kepada semangat para pendiri kongregasi’. Hal itu merupakan pendirian kembali yang dibutuhkan oleh kongregasi-kongregasi kita, dan pada pendirian kembali itulah bergantung masa depan hidup religius awam bruder.
Segala bentuk hidup Kristiani merupakan panggilan kepada suatu tugas gerejawi demi kepentingan dunia. Kesetiakawanan di antara bermacam-macam panggilan: sebagai klerus, bruder, suster, kaum awam katolik dll, jika dihayati sebagai jawaban atas ‘panggilan dan pengutusan’ Tuhan, akan mengakibatkan bahwa pesan damai, keadilan dan cinta kasih yang dibawa Yesus kepada semua orang, akan tepat dan jitu dialami banyak orang.

Bagi kita para bruder, panggilan demi kepentingan dunia, dialami sebagai membawa kesulitan, karena dunia agaknya melampaui pengertian kita dan kesanggupan kita untuk mempengaruhinya secara tepat. Kita mengalami  betapa sulitnya mencapai saling mengerti satu terhadap yang lain dan mengadakan hubungan yang benar dengan dunia dalam kesulitan, kegembiraan, dan pengharapannya. Oleh karena itu, kita sebagai kongregasi religius awam bruder, dihadapkan dengan suatu tantangan bersejarah, yaitu peninjauan kembali secara karismatik struktur kita yang menyangkut keanggotaan (penambahan jumlah bruder), komunitas, kongregasi, dan pelayanan kita.

Mungkin hal itulah yang merupakan alasan bahwa pertanyaan kita sekarang ini masih sama dengan pertanyaan Nikodemus, yaitu: “Bagaimana mungkin seseorang dilahirkan kembali, kalau ia sudah tua? Dapatkah ia masuk kembali ke dalam rahim ibunya dan dilahirkan kembali?”
Mungkin jawaban satu-satunya adalah jawaban Yesus kepada Nikodemus, yakni : “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seseorang tidak dilahirkan dari air dan Roh Kudus, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Apa yang dilahirkan dari daging adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh adalah Roh.” 56)


DAFTAR KUTIPAN

1.     Luk 4:14-18; 7:22-23. Lihat juga ketiga Injil yang lain.
2.     Perfectae Caritatis 2a; KHK c.662
3.     Perfectae Caritatis 10a
4.   MICHEL SAUVAGE, FSC. “Fratello” dalam DIP hlm 746. Lihat juga catatan dari pengarang yang sama mengenai artinya PC 10a, dalam “la vie religieuse laique” dalam buku “L’adaptation et la renovation de la vie religieuse” hlm. 315-340 (Paris-Cerf)
5.   YOHANES PAULUS II : Pidato kepada Sidang Paripurna Kongregasi bagi Religius dan Institut Sekulir, 24 Januari 1986
6.  J.F. GODET, OFM. Clerc ou laique? La bonne question, hlm. 1. Cf. Lihat juga M. SAUVAGE Catequesis y laicado, Coll. SINITE, Salamanca, 1963, hlm. 1-2. Br. Sauvage mengatakan bahwa hidup religius awam belum menjadi pokok studi khas, setidak-tidaknya bukan di tingkat teologis.
7.   Lumen Gentium 43b
8.   Kitab Hukum Kanonik c.588
9.   Luk 4:17-25; 7:22; Yes 61:1-3
10. Cf. ANDRE LEMAIRE, “Les ministeres dans la recherché neotestamentaire, Etat de la question” dalam Maison Dieu, 115 hlm. 18-21, 23
11. Cf. J. AUBRY, Teologia della vita religiosa, Turin: LDC, 1988, hlm. 22-23
12.Cf. JESUS ALVAREZ, La Vida religiosa ante los retos de la historia, Madrid : ITVR, 1979, hlm. 29-37
13. Cf. YVES CONGAR, Jalones para una teologia del laicado, Barcelona ; Estela, 1964, bab 1
14. YOANES PAULUS II : Pidato pada Sidang Paripurna Kongregasi bagi Religius dan Institut Sekulir, 24 Januari 1986
15. Perfectae Caritatis 10b
16. Lumen Gentium 31a
17. Lumen Gentium 31b
18. Perfectae Caritatis 11
19. KHK c.662; Perfectae Caritatis 2a
20. Lumen Gentium 46a; KHK cf. cc.577, 674, 676
21. Lumen Gentium 43
22. Yohanes Paulus II …
23. Ketika umat Kristen mengundurkan diri dari kenisah di Yerusalem, Paulus mengajak para orang berimannya untuk mengubah pribadinya sendiri menjadi suatu “kebatian rohani”, yang akan menghasilkan suatu pembaharuan yang tetap: “Karena itu, Saudara saudara, demi kemurahan Allah aku menasihati kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan hidup, yang kudus, dan yang menyenangkan hati Allah. Itulah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, melainkan berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah, yaitu apa yang baik, yang menyenangkan hati Allah dan yang sempurna.” (Rom 12:1-2)
24. Yesaya 55:8
25. “Maksud kita yaitu agar doa diubah menjadi sikap hidup, sehingga doa dan hidup saling memperkaya : doa yang menyebabkan kita ikut serta dalam hidup yang sebenarnya, dan suatu pengamalan realitas yang menuntut doa pada tingkat luhur.” (Dokumen Puebla, 727)
26. Paus Paulus VI, pada tanggal 28 Oktober 1966: “Mereka yang hidup menurut nasihat Injil harus di atas segala sesuatu mencari dan mencintai Allah, yang mencintai kita lebih dahulu, dan dalam segala hal berusaha memajukan hidup yang bersama Kristus tersembunyi dalam Allah, yang menjadi sumber cinta kepada sesama demi keselamatan dunia dan demi pembangunan Gereja. Mereka harus memupuk semangat doa dan mengusahakan doa itu serajin-rajinnya, dengan menimba dari sumber spiritualitas Kristen. Namun, lebih dahulu mereka harus membaca Kitab Suci setiap hari, agar mereka dengan membaca dan merenungkan isi kitab ilahi itu “mengenal Yesus Kristus yang lebih mulia dari pada semuanya” (Fil 3:8). Liturgi Suci, terutama misteri Ekaristi yang mahakudus, harus dirayakannya dengan hati dan mulut, dan memupuk hidup rohaninya pada sumber yang paling kaya ini.
27. Evangelii Nuntiandi 14; KHK c.676
28. Perfectae Caritatis 10
29. Lumen Gentium 30
30. Ad Gentes 21
31. Pius XII …
32. Lumen Gentium 10; Apostolicam Actuositatem, 2 & 3
33. Luk 7:22
34. Evangelii Nuntiandi 69c
35. Dionisio …
36. Christifideles Laice, 23
37. Lumen Gentium 45; Pesan Paus Yoh. Paulus II
38. Ramon Sanchez CHAMOSO
39. Christifideles Laici 23, menyatakan perlunya menjelaskan kesatuan dari pengutusan Gereja, di dalamnya semua orang yang dibaptis mengambil bagian, lagi pula perbedaan hakiki dengan pelayanan para pastor. Dalam teks itu disebutkan beberapa pokok untuk menentukan secara konkret identitas pelayan yang ditahbiskan dan pelayan awam.
40. Jose MARIA SALAVERRI
41. Evangelii Nuntiandi 69
42. cf. 1 Lumen Gentium 32; Christifideles Laici 9 & 15
43. 1 Kor 12:4-11
44. cf. Hag 2:11-15
45. Luk 24:19
46. Lumen Gentium 43
47. Dokumen Puebla, 757
48. Evangelica Testificatio 53; Dokumen Puebla 744
49. Lumen Gentium 31b; Dokumen Puebla 744
50. Gaudium et Spes 1
51. 1 Kor 14:6
52. Lumen Gentium 43; cf KHK c588
53. Perfectae Caritatis 10
54. Kisah Rasul 2:2-4
55. Juan Sobrino …
56. Yoh 3:4-6